Bukan dongeng tiga dara, melainkan dongeng masyarakat kita.
Identitas buku:
Judul: Malam Seribu Jahanam
Penulis: Intan Paramaditha
Penerbit: GPU
Tahun: 2023
Jumlah: 362 halaman
ISBN: 9786020671444
Kategori: fiksi, horor, gotik, kekerasan
•••
⭐⭐⭐⭐/5
Blurbnya:
Revolusi selalu dimulai oleh saudara tiri buruk rupa. Entah apa yang mengendap di kepala adik kita, yang tak buruk rupa maupun revolusioner, saat ia melilitkan bom di pinggang dan meledakkan tubuhnya.
Di tahun 1991, Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin. Ketika salah seorang berkhianat, dara yang tersisa terperangkap dan menoleh ke belakang, menelusuri dapur berisi kuali-kuali raksasa dan sumur terlarang di Rumah Victoria (kata orang jalan menuju rumah Nenek tak berujung), berhadapan dengan rahasia dan mimpi-mimpi yang macet di tengah jalan. Saat perjalanan dan kitab suci tidak lagi memberi perlindungan, dara yang lain hadir. Ia tak diundang dan menuntut penjelasan.
Malam Seribu Jahanam adalah novel kedua dari Intan Paramaditha. Mengolah kisah-kisah Islami dan mitos nusantara, novel ini merupakan dongeng gelap tentang sesal, malu, dan hantu—sebuah renungan tentang praktik beragama, retakan dan reruntuhan kelas menengah, serta rapuhnya persaudaraan.
•••
Garis besarnya:
Annisa, cucu ketiga Victoria, melakukan bom bunuh diri dengan alasan jihad bersama suami dan kedua anaknya di dua tempat yang berbeda: gereja dan jemaah pengajian transpuan. Tragedi tersebut memakan banyak korban jiwa. Bermodalkan ingatan-ingatan masa lalu atas adiknya, kakak-kakak Annisa: Mutiara dan Maya melakukan pencarian untuk menemukan alasan dan tujuan tindakan Annisa. Tatkala upaya tersebut belum membuahkan hasil, Rosalinda, saudara yang terlupakan dan terpinggirkan, mendatangi keduanya. Dia datang hendak menuntut utang dan balas dendam kepada kakak-beradik cucu Victoria.
•••
Resensinya:
Malam Seribu Jahanam merupakan buku pertama saya berkenalan dengan Intan Paramaditha, meski sesungguhnya saya memiliki Sihir Perempuan, tetapi masih tersegel rapi di tumpukan, hahaha. Saya cukup terkesan dengan novel ini, baik dari gaya Intan bercerita maupun tema-temanya. Cukup menggelitik dan menyisakan debaran yang meningkat di beberapa bagian sampai-sampai saya harus mengambil jeda beberapa menit sebelum kembali melanjutkan.
Buku ini berkisah tentang empat karakter: si sulung Mutiara ‘Sang Penjaga’, si tengah Maya ‘Sang Pengelana’, si bungsu Annisa ‘Sang Pengantin’, dan saudara terlupakan Rosalinda ‘Sang Pendongeng’. Menggunakan sudut pandang pertama bergantian antartokoh, Intan menyematkan label masing-masing karakter dalam pergantian bab sebagai penanda siapa yang tengah bercerita dengan tone yang tidak sama. Membaca tiap-tiap sudut pandang dari mereka membuat pembaca mengenal lebih dekat karakter mereka—sangat signifikan berbeda, pendapat mereka terhadap satu dengan yang lain sehingga sulit menentukan siapa yang salah siapa yang benar karena semua merasa orang baik, tetapi juga berdosa.
Melalui kisah para dara ini Intan ingin mengajak pembacanya untuk menilik kembali tentang arti keluarga, hubungan persaudaraan, relasi kuasa dalam struktur sosial di masyarakat.
Sesuai dengan blurb bahwa Malam Seribu Jahanam mengolah kisah-kisah mitos nusantara—Kuntilanak, siluman macan, nenek yang bisa ilmu sihir, dan hantu-hantu lainnya—dan Islam—dalam pandangan saya kok tidak cuma Islam ya yang disentil—yang menukil cerita para nabi serta kutipan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penguat alur sehingga membuat buku ini memiliki kompleksitas yang layak untuk diikuti hingga tamat. Alih-alih kisah-kisah para nabi sebagai inspirasi, dalam novel ini justru menjadi sesuatu yang mencekam dan ngeri.
Sangat menarik membaca novel ini tatkala aksi radikalisme atas nama agama muncul dalam lembar-lembar awal meninggalkan persoalan yang merusak tatanan sosial. Pembaca mendapati perspektif aksi terorisme bukan dari korban semata, melainkan juga pelaku yang berdampak pula bagi keluarganya: tekanan psikologis, tuntutan sosial, tanggung jawab moral yang kerap kali—kebiasaan—media massa turut serta menambahkan bumbu cerita dengan mengabaikan perasaan keluarga pelaku. Benar-benar meninggalkan warisan yang tidak diinginkan pada pihak keluarga pelaku.
Melalui konflik cerita yang menghentak ketika Annisa melakukan bom bunuh diri seolah hendak mematahkan persepsi khalayak luas lagi umum terhadap pelaku teroris perempuan. Cucu ketiga Victoria ini dikenal sebagai ibu rumah tangga yang cantik, soleha, aktif bersosialisasi, dari keluarga berada nan sejahtera, anak-anaknya juga penurut, sekolah di institusi bergengsi, benar-benar keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan jauh sekali dari aktivitas ekstremisme agama. Namun siapa kira bakal meledakkan diri.
Pada akhir cerita juga membuat saya berpikir jika Annisa ini sangat sadar atas aksinya, lantas apakah para perempuan pelaku teroris tidak selalunya mengikuti imam untuk mati syahid? Jangan-jangan mereka dengan penuh percaya diri meyakini dirinyalah imam sesungguhnya dan sebagai pemeluk agama mayoritas maka merasa layak untuk melibas mereka yang berbeda atas nama agama atau perjuangan atau perubahan atau apa pun.
Tema keluarga pun menjadi kerangka utama buku ini. Intan menyoroti keretakan keluarga melalui seluruh tokoh-tokohnya, terutama hubungan antarsaudari Mutiara-Maya-Annisa.
Ketika ketiganya masih kecil, Nenek Victoria meramal cucu-cucunya: Mutiara, cucu pertama menjadi Penjaga yang ditugaskan menjaga dan melindungi keluarga, juga merawat yang hidup dan mengantar yang mati; Maya, cucu kedua menjalani hidup sebagai Pengelana, berada di atas perahu bersama buku-buku; dan Annisa, cucu ketiga menjadi Pengantin. Pesan-pesan tersebut terus-menerus berulang dan tersebar di sejumlah bab sehingga pembaca akan menemukan jika Mutiara seorang pekerja keras, handal, pelindung, terstruktur dan rapi, serta bertanggung jawab layaknya Penjaga; Maya yang berjiwa bebas, terus mengaktualisasikan diri menjadi Pengelana; dan Annisa benar-benar sosok yang ingin memiliki cinta tulus layak menjadi Pengantin.
Dalam pandangan saya, ramalan yang terus berdengung di sepanjang cerita menjadi sebuah patokan, sebuah peran yang harus dijalani kakak-beradik itu. Penjaga itu ya Mutiara. Yang bisa membereskan banyak hal dengan sat-set ya cuma Mutiara karena memang tugasnya menjaga. Begitu pula untuk Maya dan Annisa. Peran yang sengaja dikonstruksi justru datang dari sesama perempuan yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Pengkotak-kotakan ini menyebabkan para tokoh tidak mempunyai pilihan lain selain yang sudah dibagi. Mereka hidup dengan label yang sudah tersemat sejak dini dan merasa memiliki hak atas hal-hal tertentu karenanya.
Pelabelan ini pula turut mendukung konsepsi pemahaman yang jamak terjadi di masyarakat. Umumnya masyarakat beranggapan bahwa anak pertama bertugas menjadi pemimpin, pengayom, pelindung, dan pengendali bagi adik-adiknya. Mereka berkuasa atas banyak hal dalam keluarga sebagai generasi selanjutnya. Kemudian anak kedua cenderung kreatif dan dapat hidup mandiri di mana pun berada. Lalu si bungsu kerap dituntut sebagai pribadi yang penurut, manis, dan tidak neko-neko. Pas, kan, dengan konsep peran Penjaga, Pengelana, dan Pengantin, hahaha.
Malam Seribu Jahanam sendiri juga memberikan gambaran cukup jelas rapuhnya persaudaraan. Ketiganya tatkala masih kecil memiliki hubungan yang naik-turun, ada kecemburuan dan rasa iri terhadap sang adik bungsu karena sang ayah menekankan Annisa sebagai putri kesayangan yang paling cantik, paling manis, paling soleha, dan paling-paling lainnya. Ketimpangan perlakuan dan pengasuhan ini menyebabkan pengabaian yang dilakukan secara tidak langsung oleh para kakak terhadap adik bungsu, ketidaksukaan karena kemudahan-kemudahan yang diperoleh si bungsu, sampai pemakluman atas tindakan Annisa yang menyimpang: anak baik yang salah jalan. Sebentar. Padahal Annisa juga rumit, dia pun bukan anak baik. Memangnya anak baik tidak boleh salah jalan?
Tatkala dalam misi pencarian alasan Annisa melakukan bom bunuh diri, retaknya kakak-beradik kian kentara. Banyak sekali perbedaan dalam diri ketiganya—meski dalam beberapa bagian saat kecil mereka terlihat layaknya saudara yang kompak lagi akur—cukup menjelaskan jika manusia itu rumit dan dapat menindas-tertindas atau pelaku-korban sekaligus. Contohnya saja Mutiara menyudutkan Maya yang dianggap tidak bisa diandalkan, menolak penjelasan Maya dan menganggap pendapatnyalah yang benar, tetapi dia merana ketika keluarga besar menyalahkan dirinya saat Annisa bunuh diri, seolah menganggap Annisa tersesat karena kelalaiannya memperhatikan sang adik.
Masih dengan tema keluarga, saya mengajak untuk bergeser pada relasi kuasa yang berjalan di keluarga Victoria. Meski cerita ini berkisah pada kakak-beradik, tetapi jalinan kisahnya berkembang apik melalui peran seorang matriarki, Nenek Vitoria. Konstruksi peran dan peranan pada para cucu ini selain ramalan sang nenek, sebagian besar karena pengasuhan sang ayah yang menjalankan praktik patriarki. Ayah pada dara ini tipikal ayah yang pilih kasih, rasis, dan mampu melakukan kekerasan lagi misoginis terhadap sang istri.
Meski demikian, saya menyambut baik eksistensi perempuan dalam buku ini. Perempuan berdikari dengan kemampuannya sendiri. Nenek Victoria dan Mutiara adalah contoh perempuan mandiri dan memiliki kendali tidak sekadar pada diri sendiri melainkan juga orang lain, serta tidak bergantung pada siapa pun. Lalu ada Maya yang tekun menuntut ilmu ke jenjang pendidikan tinggi serta mengejar cita-citanya dengan sungguh-sungguh. Saya rasa cukup mewakili representasi bagaimana perempuan saat ini bersikap.
Oke, lanjut, ya.
Pada awal kisah pengeboman juga terjadi di sebuah pengajian yang dihadiri oleh para transpuan serta satu lagi saudara yang terlupakan: Sang Pendongen, Rosalinda yang juga merupakan transpuan.
Rosalinda, si bujangdara—saya sempat nge-lag sewaktu membaca istilahnya—menjadi bagian tidak terpisahkan dalam Malam Seribu Jahanam. Intan memberikan kesempatan Rohadi yang menjadi Rosalinda, Sang Pendongen, untuk mengisahkan para transpuan: yang terpinggirkan, terbuang, tetapi memiliki komunitas yang saling menguatkan dengan rasa kekeluargaan yang lebih hangat dan akrab: ada peran ibu-anak di dalamnya.
Melalui Rohadi/Rosalinda, Intan mengajak pembaca menguak siapa Nenek Victoria, membantu mengungkap rahasia Annisa, menjelaskan kisah masa kecil para dara dari sudut pandang anak seorang pembantu yang dikucilkan karena statusnya, yang setia kepada majikan, hingga menyelami kejamnya dunia tatkala seseorang memutuskan menjadi transpuan yang berpetualang tanpa peta: sebatang kara, sulitnya bertahan hidup, terjebak sebagai penjaja seks, kerap mendapat perlakuan keji dari pelanggan sebelum menemukan ketertarikannya di bidang kesenian yang membuatnya sukses di negeri orang.
Suasana mencekam terbangun apik dalam buku ini. Tatkala saya membaca rumah horor, kamar rahasia, sumur di halaman belakang, ranjang biru ada nuansa aneh yang melingkupi. Barangkali karena terus diulang-ulang di sepanjang buku kali, ya, hahaha. Novel ini menggunakan alur maju-mundur dan berlompatan antartokoh, maka pembaca perlu fokus untuk bisa menikmatinya.
Malam Seribu Jahanam cocok bagi pencinta horor maupun mereka yang ingin merasakan kecemasan terhantui dalam kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan novel ini menunjukkan hubungan antarmanusia itu dinamis, ada masanya rapuh dan terpecah.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Allah bisa memanggil kita kapan saja, kata para penceramah, tapi aku takut mati dalam tumpukan dosa …. Aku tak bisa hadir di hadapan Allah dalam keadaan malu, compang-camping, dan Dia akan menyesal telah membuat adonan yang gagal; aku, yang selama ini bersujud dan membaca ayat-ayatnya, ternyata cuma buntalan kekecewaan raksasa. (Halaman 58)
Revolusi hanya ada dalam pikiran orang-orang tertindas sebab mana ada orang kaya rupawan menginginkan perubahan? (Halaman 64)
Hal pertama yang ia lakukan adalah menyalahkanku, sebab di masa krisis harus ada yang disalahkan, dan kita ingin memastikan kalau tak babak belur sendiri. (Halaman 64)
Bagaimana memahami masa lalu bila kau tak punya masa depan? (Halaman 212)
Percaya, bertakwa, kumpulkan pahala sebab malaikat menghitung tiap amal di alam kubur, katamu sewaktu kami masih kecil, memberi pelajaran agama dengan semangat kapitalisme. (Halaman 301)
Sebab mungkin ia tahu, tak segampang itu, tak semua maaf gampang diberi. (Halaman 308)
.webp)
0 Komentar