Pingin cerita yang bikin geregetan dan meledak-ledak? Silakan baca novel yang berlatar tradisi Kawin Tangkap di Sumba: tentang represi perempuan dan hak-haknya.
Identitas buku:
Judul: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Penulis: Dian Purnomo
Penerbit: GPU
Tahun: cetakan kelima, 2022
Jumlah: 320 halaman
ISBN: 9786020648453
•••
⭐⭐⭐⭐⭐/5
Blurbnya:
Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Sirna sudah impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orang tua, seisi kampung, dan adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan.
Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, dia harus memilih sendiri nerakanya: meninggalkan orang tua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.
•••
Resensinya:
Mari kita perjelas apa itu Kawin Tangkap.
Yappa Mawine atau Kawin Tangkap, dalam kepercayaan adat Sumba memang dikenal dengan adanya kawin culik, yang sudah terjadi sejak zaman nenek moyang mereka. Kawin culik dulu menjadi salah satu upaya untuk menyingkat urusan adat agar tidak memakan biaya serta waktu yang terlalu lama. Pada umumnya keluarga kedua calon mempelai telah memiliki perjanjian jika akan menempuh cara ini. Ada yang mengatakan bahwa kawin culik juga bisa dijadikan sebagai salah satu solusi jika keluarga laki-laki gagal mencapai kesepakatan adat dengan keluarga perempuan. Jika ini penyebabnya, maka keluarga perempuan memang tidak mengetahui rencana tersebut sebelumnya. Setelah calon pengantin perempuan diculik, barulah keluarga perempuan tersebut menyerah dan akhirnya terjadi kesepakatan. (Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, halaman 19-20)
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam, sebuah novel yang mengusung tradisi kawin tangkap sebagai penggerak cerita. Selain itu, novel ini penuh dengan konflik sosial dalam balutan dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan yang mengakar kuat dengan dalih tradisi/adat istiadat Sumba, NTT.
Tokoh Magi Diela menjadi bukti bahwa perempuan Sumba tidak memiliki kebebasan untuk menjalani hidup maupun masa depan sebab sewaktu-waktu bisa menjadi target kawin tangkap. Lebih jauh, Magi mengalami banyak kekerasan: fisik (diculik, disekap, sampai dipukul), verbal (dihina, direndahkan), seksual (dilecehkan, diperkosa), sampai sosial (stigma) yang berdampak pada psikologi (tidak berharga, trauma).
Perempuan dalam novel ini seolah menjadi manusia kelas dua setelah laki-laki, hanya menjadi objek/aset. Ketika perempuan mencoba untuk berdikari, langsung dibungkam dengan alasan "adat istiadat". Sebuah realitas sosial yang kerap terjadi sejak dulu kala.
Namun, novel ini tidak sekadar mengurai suramnya nasib perempuan Sumba, melainkan juga mengisahkan sebuah upaya perjuangan dan perlawanan atas ketimpangan relasi meski itu tidak mudah dan tertatih-tatih.
Buku ini mengajak kita untuk tidak mengabaikan hak-hak perempuan, memahami lika-liku perjuangan korban pelecehan/kekerasan, dan memikirkan ulang tradisi atau adat itu perlu dipilah dan dipilih seiring perkembangan zaman.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Kematian adalah kepastian, ada yang membiarkan kedatangannya menjadi misteri, ada yang menjemputnya dengan paksa. (Hal. 7)
Seharusnya kamu tidak lagi berpikir bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Apa yang bisa dilakukan laki-laki, bisa dilakukan perempuan, begitu juga sebaliknya. Hanya satu yang kami tidak bisa, melahirkan dan menyusui. (Hal. 185)
Kenapa mereka biarkan perempuan-perempuan yang akan kasih lahir mereka punya keturunan penderitaan? (Hal. 251)
.webp)
0 Komentar