Sang Keris


Kisah Kanjeng Kyai Karonsih, sebilah keris yang memiliki keinginan-pikiran-perasaan-kenangan yang menjadi saksi kehancuran dan kejayaan peradaban.

•••
Identitas buku:

Judul: Sang Keris

Penulis: Panji Sukma

Penerbit: GPU

Tahun: 2020

Jumlah: 110 halaman

ISBN: 9786020638560

Kategori: novela, fiksi sejarah


•••

⭐⭐⭐⭐/5


Blurbnya:

Kejayaan hanya bisa diraih dengan ilmu, perang, dan laku batin. Sedangkan kematian adalah jalan yang harus ditempuh dengan terhormat. Matilah dengan keris tertancap di dadamu sebagai seorang ksatria, bukan mati dengan tombak tertancap di punggungmu karena lari dari medan laga. Peradaban telah banyak berkisah tentang kekuasaan. Kekuasaan melahirkan para manusia pinilih, dan manusia pinilih selalu menggenggam sebuah pusaka.


Inilah novel pemenang kedua sayembara menulis paling prestisius. Cerita sebuah keris sekaligus rentetan sejarah sebuah bangsa. Sebuah keris yang merekam jejak masa lampau, saksi atas banyak peristiwa penting, dan sebuah ramalan akan Indonesia di masa depan.


•••


Garis besarnya:

Sang Keris mengisahkan asal muasal serta perjalanan Kanjeng Kyai Karonsih, sebilah keris yang memiliki kesaktian, pemikiran dan kehendak sendiri, serta turut terlibat dalam arus sejarah Indonesia sejak zaman kerajaan, kemerdekaan, hingga era kekinian. Ia berpindah dari satu tuan ke tuan lainnya, dari satu pemilik ke pemilik lainnya, menebar tragedi dan kesuksesan, melakukan kejahatan dan kebaikan sesuai dengan keinginannya sendiri maupun menyesuaikan perilaku sang pemilik. 


•••

Resensinya:

Sebelum ke pendapat saya mengenai buku ini, barangkali ada yang belum tahu seputar keris bisa di baca di sini.


Nah, sekarang terkait Sang Keris dengan tokoh utamanya yakni sebuah keris khas Jawa bernama Kanjeng Kyai Karonsih (selanjutnya saya tulis Karonsih, ya).


Cukup rumit membaca buku ini. Bukan karena tokoh utamanya adalah keris, bukan, melainkan karena struktur cerita yang dibangun Panji itu kompleks. Kompleksnya bukan karena prosesi terciptanya sebilah senjata pusaka yang dikisahkan dalam Sang Keris atau menyelipkan banyak adat budaya Jawa di dalamnya … sungguh bukan itu, melainkan lini masa yang melompat-lompat dengan puluhan tokoh dan berakhir sepintas lalu serta keterkaitan antarbab yang seolah samar itu … cukup membuat saya geregetan, tetapi juga seru karena saya harus merajut plot yang tersebar acak lagi berceceran.


Sebagai pembaca yang bisa menikmati jenis alur cerita mana saja (maju/mundur/campuran) saya oke-oke dengan gaya tiap-tiap penulis untuk mengisahkan ceritanya. Namun, untuk yang satu ini, dengan tokoh yang bejibun banyaknya, yang beberapa cuma dikisahkan dalam satu bab dan selesai dan tidak disinggung lagi, beberapa lainnya ada yang berlembar-lembar dan selesai juga, yang saya kira ada kaitannya dengan sebelum-sebelumnya ternyata tidak ada; dengan lini waktu berbeda-beda dalam setiap babnya; kadang masih terhubung dengan bab sebelumnya, kadang seperti tidak ada kaitannya sama sekali ini … cukup bikin saya kewalahan, meski Karonsih tetap sebagai penghubung utamanya dan ada beberapa cerita yang terkesan “mandiri” dengan meniadakan peran Karonsih.


Untuk buku setipis seratus sepuluh halaman ini tidak bisa saya tuntaskan dalam sehari, hahaha. Saya tetap bisa mengaitkan semuanya setelah proses membaca selesai dan merenung beberapa saat. Penulis tidak mungkin begitu mubazirnya membuat cerita yang tidak ada kaitannya, bukan? Dan cerita dalam buku ini tidak hanya membicarakan keris itu sendiri sebagai bintangnya dengan banyak tuan, melainkan juga menyinggung kedatangan Ratu Adil serta garis takdir yang diemban sang keris sehubungan dengan Ratu Adil.


Sang Keris, sebuah novela—saya sebut demikian sebab hanya 100 halaman—yang padat. Mengisahkan perihal kekuatan sebuah pusaka yang mampu mendatangkan malapetaka maupun mendulang serta melanggengkan kekuasaan bagi pemiliknya—meski akhirnya tragis juga, sih. Melalui sebilah keris, pembaca akan meyakini bahwa kekuatan—apa pun wujudnya—harus digunakan dengan bijak. Jika disalahgunakan, kemungkinan berbuah petaka tidak hanya bagi diri sendiri melainkan juga orang lain atau sekitar. Namun, jika untuk kebajikan sebagaimana seharusnya, maka tercipta kedamaian. Kesombongan sang keris atas kemampuan yang dimilikinya cukup membuat kita sebagai pembaca mawas diri untuk tidak bertindak serupa jika ujung-ujungnya tidak membawa manfaat sama sekali. Perjalanan Karonsih melintasi banyak masa dalam genggaman banyak tuan cukup menggambarkan bahwa kekuasaan yang dihasilkan melalui kekuatan memang terus ada sampai kapan pun. 


Karonsih sebagai tokoh utama hadir hampir mendominasi pada 16 bab buku ini. Namun, alih-alih mengisahkan perjalanan Karonsih sejak terciptanya hingga berakhir di museum secara berkesinambungan (meskipun alur yang digunakan adalah campuran, ya), Panji justru memilih menuliskannya dalam struktur cerita-cerita pendek yang panjang-pendek halamannya tidak sama. Pembaca dipaksa untuk menyusun gambaran besar kisah Sang Keris secara mandiri dengan sejumlah besar kepingan-kepingan yang terhubung serta beberapa cerita yang berdiri sendiri dan seakan-akan tidak memiliki keterkaitan dengan tema utama buku ini. Bayangkan saja sebuah restoran dengan beberapa gazebo di sekitarnya. Masih satu kesatuan restoran meski lokasi untuk makannya berbeda.


Bagaimana, terkesan rumit, kan?


Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, meski kompleks, saya tetap bisa menikmati ceritanya. Membaca Sang Keris tidak hanya berkenalan dengan budaya Jawa melainkan juga mendapat pengetahuan perihal tata cara membuat keris itu sendiri, aksi laga di dalamnya seperti sedang menonton sinetron kolosal yang ada di TV-TV kita, interaksi antara keris dan pemiliknya yang kadang bisa menyesatkan dan melenakan, kadang bisa bikin tuannya berjaya di pertempuran, kemudian pembaca bakal menemui kalau ada gengsi di antara sesama benda-benda pusaka, hahaha, lucunya di sini, keris saja bisa saingan dengan keris lainnya untuk unjuk pamor siapa yang paling sakti.


Menggunakan latar dan tradisi Jawa tidak membuat kisah ini asing untuk mereka yang bukan berasal dari tanah Jawa. Selain diksinya yang sederhana, Panji memberikan catatan kaki untuk istilah-istilah khusus (baik ragam perkerisan, kosakata, maupun tradisi Jawa) agar pembaca lebih mudah memahaminya (banyak sekali, sampai 90 catatan kaki, lho). Menilik latar belakangnya sebagai seniman—atau setidaknya memiliki ketertarikan dalam dunia seni—maka patutlah jika Panji mampu mendeskripsikan dengan detail setiap kejadian yang dialami Karonsih selain riset serba-serbi keris yang pastinya dia lakukan. Pengetahuan Panji terkait keris sangat komprehensif.


Keris sebagai marwah cerita mampu membuat buku ini unik jika disandingkan dengan kebanyakan penulis yang menggunakan manusia sebagai tokoh utama. Menjadikan benda mati sebagai sudut pandang sentral tidak serta merta membuat Karonsih kering tanpa karakterisasi. Panji sukses membuat sosok Karonsih tidak sekadar senjata semata, melainkan juga pusaka istimewa bernilai seni tinggi dengan kekuatan mistis mahadahsyat yang juga memiliki ego dan kehendak. Terkadang ia berbuat semaunya, kadang sukarela membantu pemiliknya, pernah juga bersikap cuek, enggan melakukan apa-apa.


Melalui perjalanan Karonsih di berbagai masa, buku ini akan membawa pembacanya menjelajahi era yang pernah dilalui Indonesia. Panji piawai memberikan sentuhan menarik melalui alur ceritanya yang memikat dengan mencampurkan sejarah, budaya, unsur mistis lagi magis, dan pewayangan (dalam bab-bab tertentu). Tentunya menjadi satu pengalaman penjelajahan yang menarik bagi pembaca sebab mendapati referensi sejarah masa lampau

melalui kisah sebilah keris.


Hal menarik lainnya dari novela ini yakni sudut pandang yang digunakan Panji: semua POV dipakai. Tatkala itu adalah Karonsih, lebih banyak menggunakan sudut pandang kedua. Beberapa bab menggunakan POV orang ketiga, tapi pernah pula pakai orang pertama. Bagi sebagian sebagian orang kemungkinan akan terganggu atas inkonsistensi Panji sehingga kenikmatan membaca akan terputus dan berakhir dengan menutup buku, tetapi saya memandangnya sebagai hal lumrah sebab menyesuaikan narasi cerita yang dibangun. Ada kalanya Karonsih sebagai pengamat dan pelaku utama cerita, tetapi satu ketika ia berperan sebagai pendukung dalam sepak terjang orang lain.


Kekurangan buku ini dalam pandangan saya yakni pendalaman tokoh yang terkesan tanggung, peristiwa sepotong-sepotong, serta bab-bab yang seolah tidak tuntas. Namun, jika mengingat ini adalah kisah tentang keris, perjalanan keris pada banyak pemilik, maka tokoh-tokoh yang bermunculan sudah sesuai dengan porsinya. Kemudian karena pondasi Sang Keris adalah cerita-cerita pendek yang karakternya ya hanya sepanjang bab itu saja, dan begitu ganti bab ganti latar maka tokoh baru muncul dengan persoalan yang lain lagi. Kejadian peristiwanya pun hanya secuil dari sepenggal kisah sejarah dalam rentang zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan, sampai ke museum menjadi pusaka pajangan. Untuk sejumlah pembaca bisa merepotkan dan sulit mengikuti karena muncul nama-nama tokoh yang banyak, latar yang cepat berpindah-pindah, itu masih ditambah pakai alur maju-mundur dan harus merangkai kisahnya sendiri. Hmm ….


Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca yang menyukai novel/novela yang rumit baik dari segi cerita maupun alurnya serta yang memiliki referensi sejarah atau pengetahuan umum yang cukup (setidaknya zaman Hindu-Budha, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, kisah Ki Ageng Mangir era Kerajaan Mataram, Soekarno, Mahabarata, sampai Ki Narto Sabdo, terus siapa lagi, ya ….).  Namun, jika sekadar menikmati atau memiliki ketertarikan untuk membaca kisah-kisah masa lalu tanpa perlu repot-repot mengenal siapa tokoh-tokohnya pun masih bisa sebab buku ini sendiri penuh dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur.


Saya berharap ada kisah mendalam tentang beberapa tokohnya seperti Arya Matah, misal. Lalu, saya juga penasaran akankah akhir cerita buku ini bakal benar-benar kejadian.


Jadi … minat baca?



•••


Kutipannya:

Dalam hidup, ada kalanya kau tak harus menuruti perintah orang yang kau hormati, sekalipun itu ayahmu sendiri. (Hal. 34)


Mati karena cinta adalah hal wajar, bahkan sangat manusiawi, bukankah alasan kita terlahir adalah cinta? Akan indah jika itu pula yang menjadi alasan kematian kita. (Hal. 44)


Waktu sudah tidak lagi penting bagi mereka yang tak memiliki dendam. (Hal 51)


Kau kembali menyadari bahwa kehidupan selalu memiliki garis takdirnya sendiri, tak hanya hitam dan putih. (Hal. 78)


Apa kamu pernah mendengar pepatah lama perihal mendiamkan kesalahan adalah kejahatan? (Hal. 85)


Apakah di zamanmu masih ada yang sudi menerima peran seperti aku? Bukan tentangku yang aku khawatirkan, sebab kisahku sudah berlalu. Melainkan tentangmu, tentang kalian, zaman ini, tidak ada yang menjamin jika kebenaran yang akan mengalahkan keangkaramurkaan, kecuali jika terlahir kembali Sang Ratu Adil. (Hal 88)


Betapa ia merasa bahwa selama ini hanya disibukkan dengan mencari kebenaran masa lalu, dan ternyata ada yang luput ia tangkap tentang hari ini. Kesewenang-wenangan, kejahatan, dan ketidakpedulian terhadap sesama semakin kental. (Hal. 88)





Posting Komentar

0 Komentar