Buku ini merupakan pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian (DKJ) Jakarta Tahun 2019.
•••
⭐: 4.8/5
Identitas buku:
Judul: Aib dan Nasib
Penulis: Minanto
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: cetakan kedua, 2022
Jumlah: 263 halaman
ISBN: 9786020788005
•••
Blurb:
“Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal kukira setiap hari pastilah ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak sore tidak malam.”
Kehidupan warga desa Tegalurung rasanya akan membuyarkan gambaran tipikal kehidupan pedesaan di benak kita. Alih-alih damai dan harmonis, kita dapati aneka rupa konflik dari orang-orang yang dipertemukan dalam nasib dan terjalin oleh aib—konflik-konflik yang bersumber dari permasalahan-permasalahan lama seperti asmara dan kemiskinan, maupun dari permasalahan-permasalahan baru seperti media sosial dan politik elektoral tingkat lokal.
Disusun dalam bentuk fragmen-fragmen episodik dengan alur maju-mundur, gairah eksperimentasi bentuk novel Aib dan Nasib akan memberi pembaca pengalaman naratif yang tak terlupakan.
•••
Garis besarnya:
Tidak ada kehidupan desa yang tenang, guyup, dan ewuh pekewuh. Dalam Aib dan Nasib, kita diperlihatkan realita perdesaan dengan penduduknya yang miskin, bodoh, tanpa sopan santun, misuh-misuh (mengumpat) dan wani gelut (siap berkelahi).
Tersaji dalam empat plot besar, Aib dan Nasib memotret nasib masyarakat kelas bawah dan relasi manusia yang absurd: kisah kehidupan Mang Sota, Marlina, Boled Boleng, dan Gulabia. Mewakili kemiskinan, ketidakberdayaan, kebodohan, dan kekerasan seksual. Pelik dan penuh tragedi hingga berakhir menjadi aib.
•••
Resensinya:
Membaca Aib dan Nasib ini seperti menyaksikan kehidupan tetangga kita sendiri yang tinggal di kanan-kiri-depan-belakang rumah. Karakternya banyak dengan problematikanya masing-masing: ada yang sinting, ada yang benar-benar miskin dan tidak terjamah, ada yang tiap hari satu rumah satu keluarga isinya ribut adu mulut terus, ada yang lempeng-lempeng saja, ada yang maunya jadi “sosok” bagi warga sekitar, dst.
Meski sempat kesulitan mengingat nama tokoh karena latar tempat di Jawa Barat dan saya belum terbiasa dengan penamaannya, saya suka pada tiga lembar pertama novel ini. Menyuguhkan adegan yang—menurut saya—menjadi inti cerita sebelum pembaca diajak berkelana dengan alur maju-mundur, loncat sana-loncat sini, silang sana-silang sini, berceceran di sana-sini yang mengisahkan sebab musababnya.
Ceritanya berupa fragmen demi fragmen, layaknya kita nonton film dengan banyak tokoh, tetapi terbagi dalam empat cerita besar yang tiap sekian menit berganti dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu tokoh ke tokoh lainnya terus sampai selesai. Meski demikian, tidak ada tokoh yang lebih menonjol dari yang lain, tidak ada kejadian yang dominan, semuanya memiliki porsi yang sama, semuanya sama pentingnya, semua berkelindan, terangkai apik dengan cara tidak biasa, alias pembaca diminta merajut sendiri hubungannya dari puzzle cerita yang tidak runut. Plot yang bergerak acak dan cepat itu pada akhirnya menyatu menjadi satu plot utama.
Aib dan Nasib akan mengajak kita menyadari bahwa antara malang dan mujur itu tidak ada bedanya. Penulis piawai menggambarkan situasi sosial, khususnya kaum marjinal, sebagai 'korban pasif' pembangunan, politik lokal, serta bulan-bulanan peradaban ketika teknologi bergerak cepat dan menyusup ke ruang pribadi, tetapi mereka belum siap mental.
Buku ini tidak sekadar asyik dan seru, melainkan juga kocak, tetapi dengan cara tragis dan getir.
•••
Kutipannya:
Semua orang pasti bisa hidup kalau mau tetap berusaha mencari makan. Kau bisa jadi bukti. Biar utang terus, urusan mati bisa kapan-kapan. Begitu kan? (Inem, halaman 23)
Hidup memang bukan seperti undian atau lotre apa pun. Menukar malang dengan mujur atau mengganti mara dengan untung. (Mang Sota, halaman 77)
Jalan hidup seseorang sukar ditebak. Seorang suami bunuh istri dan cucu sendiri, ada. Seorang anak bunuh ibu sendiri, ada. Bahkan bapak dan anak saling bacok, juga ada. (Halaman 262)
.webp)
0 Komentar