Identitas buku:
Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: GPU
Tahun: 2019
Jumlah: 344 halaman
ISBN: 9786020631882
Kategori: fiksi, novel, fiksi sejarah, Aceh, GAM
•••
Blurbnya:
AHMADI, berandalan kampung berkumis tebal, tiba-tiba muncul memimpin pasukan kecil melawan pemerintah. Si Kumis banyak lagak ini berhasil menghasut para penduduk supaya mengangkat senjata menyerang pasukan tentara yang datang dari pulau seberang.
Kisah kian menarik dengan bumbu cinta terlarang antara Halimah, istri Ahmadi yang bertugas mengutip pajak perjuangan, dengan Jibral, pemuda rupawan namun penakut yang menjadi pujaan hati para gadis. Kampung yang sunyi di tengah cengkraman perang itu pun tak kunjung sepi dari ragam masalah sehari-hari; kesulitan hidup, ancaman, perkelahian, sampai percekcokan sesama penduduk.
***
Lampuki adalah novel yang amat menyentuh dan mencerahkan. Berlatar Aceh pada masa penuh gejolak setelah keruntuhan Soeharto, novel ini mampu menggambarkan secara terperinci tentang perang, perilaku sosial, karakter masyarakat, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan; sebuah wajah daerah rawan yang tak mudah terlihat apalagi dipahami orang luar. Meski diceritakan dengan gaya yang mengundang gelak-tawa, tapi tidak menghilangkan simpati kepada orang-orang tak berdosa yang jatuh sebagai korban. Tidak tampak penggambaran hitam-putih sehingga pesan melesap begitu dalam dan tepat sasaran. Sungguh kisah yang unik, tajam, cerdas, dan amat jenaka.
•••
Garis besarnya:
Novel satire yang menggambarkan sebuah tempat bernama Lampuki di Aceh pada masa penuh gejolak setelah keruntuhan Orde Baru. Melalui sudut pandang seorang Teungku atau guru ngaji, buku ini mengajak menyusuri kehidupan penuh konflik antara pemerintah dengan kaum gerilyawan yang pada akhirnya menyengsarakan masyarakat sipil.
•••
Resensinya:
Perkenalan pertama saya dengan Arafat Nur yang memikat dan membuat kepingin membaca karya-karyanya yang lain. Saya mendapatkan buku ini di salah satu Gramedia di Yogyakarta dengan diskon 40%. Jelas saya tidak berpikir dua kali apalagi berlama-lama dan langsung membawa buku ini dan membayarnya. Faktor pemenang DKJ dan peraih Khatulistiwa Literary Award—dan juga kover oren menyalanya—membuat saya teryakinkan, meski sejujurnya saya belum bisa menerka isinya perihal apa dari hanya membaca blurb semata.
Lampuki, novel—yang kalau saya boleh sebut fiksi sejarah—berlatar Aceh pada masa pasca-1998 yang menyoroti persinggungan Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Republik Indonesia. Sesungguhnya Arafat Nur tidak benar-benar menyebutkan gerakan tersebut dalam buku ini, tetapi jika dirunut dari cerita-cerita Ahmadi selama menjadi gerilyawan, maka ujung pangkalnya adalah persoalan Gerakan Aceh Merdeka.
Pada tahun-tahun tersebut, saya masih kecil—terlalu kecil, malah—sehingga ingatan atas gerakan tersebut tidak ada. Maka, saya antusias bisa berkesempatan membaca novel ini dan sesudahnya saya pun mencari tahu informasi perihal kejadian-kejadian yang menimpa Aceh sewaktu menjadi Daerah Operasional Militer (DOM).
Lewat novel ini, pembaca akan mendapatkan referensi perihal sejarah Aceh, masyarakat Aceh, cara pandang masyarakat Aceh terhadap masyarakat luar (khususnya Jawa—pulau seberang—dan orang Jawa yang disebut penjajah), pergeseran lingkungan Aceh, dan pergesekan masyarakat Aceh sejak sebelum kemerdekaan sampai ketika Orde Baru tumbang, dari zaman Soekarno hingga era Megawati, juga tatkala Lampuki sempat menjadi wilayah tenang dan damai ke riuh mencekam.
Arafat Nur cukup baik memberikan gambaran kehidupan daerah berkonflik juga mampu menyeimbangkan dua kubu yang tengah bergejolak—pemerintah dan gerilyawan—tanpa berat sebelah sehingga pembaca menjadi lebih memahami persoalan dari sudut pandang tentara maupun gerilyawan dan juga kerisauan masyarakat sipil yang terjebak di antaranya.
Novel ini mengurai mengapa para gerilyawan bertekad agar Aceh mandiri, berdikari, dengan berkiblat pada kejayaan Aceh di masa lampau. Arafat Nur menuliskan Aceh terlalu lama disakiti penjajah—Indonesia, khususnya mengarah pada Jawa—yang lebih bengis dari penjajah Aceh seperti Portugis, Inggris, dst.; bosan dengan janji-janji pemerintah yang tidak kunjung ditepati; yang mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah, tetapi tanpa kontribusi yang kembali sehingga Aceh pernah menjadi kawasan tertinggal, mengalami kemiskinan ektrem, kesehatan masyarakatnya memprihatinkan, dan terbelakang (ini fakta, lho. Boleh dicek di situs-situs). Ahmadi, salah satu tokoh utama, berkali-kali mengajak orang-orang muda, anak-anak untuk ikut bergabung dengannya, berperang bersama, menentang pemerintah, menyebarkan kebencian terhadap pemerintah, menutup sekolah-sekolah karena dianggap sebagai bagian dari pemerintah dan upaya penipuan/pembodohan publik.
Di lain pihak, buku ini menjelaskan sikap tentara yang dikirim ke Lampuki, menjalankan tugas negara membasmi pemberontak. Arafat Nur mulus menceritakan perubahan tentara dari yang biasa menjadi agresif kemudian makin keras, terutama pada masa-masa Aceh menjadi Daerah Operasi Militer saat pemerintahan Soeharto dan Megawati. Mereka tidak segan-segan mengusik kenyamanan warga Lampuki yang dicurigai sebagai markas komplotan, menggelandang para pria Lampuki ketika gerilyawan melakukan tindakan perlawanan.
Dan, Arafat Nur menyajikan gambaran kehidupan masyarakat sipil yang terjebak di antara dua kubu yang tengah bertentangan. Ada kalanya mereka bisa berjalan-jalan santai, tetapi ada juga saat-saat mereka merasa was-was jika gerilyawan berulah, dan ketakutan sewaktu tentara memporak-porandakan rumah-rumah.
Hal yang menyenangkan dari buku ini selain sukses menggambarkan situasi Aceh pada masa itu serta tepat memilih sudut pandang rakyat biasa untuk menampilkan cerita dengan menggunakan POV I sebagai saksi mata, yakni cara berceritanya yang cenderung jenaka lagi sarkas, tetapi kepedihan tetap terasa. Kan, jadinya ironi. Mau ketawa, tetapi kok menyedihkan.
Arafat Nur tidak cukup mengolok-olok pemerintah dengan menyentil tokoh-tokoh negara karena tindakan mereka yang menyebabkan Aceh menderita; Megawati disebut “perempuan ular”; mencemooh para pecundang tanpa jabatan sebagai mafia Jakarta yang melakukan transaksi penjualan senjata secara ilegal dengan pemberontak dan pemberontak membayar mereka dengan uang hasil penjualan ganja.
Belum cukup, Arafat Nur juga menyindir perangai masyarakat Lampuki (yang sama saja mengejek Aceh, kan) melalui tokoh Aku (Teungku) dengan sebutan pesong (serong, bengkok), tukang kecam sana-sini, sok yes, kasar, cepat naik darah, suka memaki … pokoknya, tidak ada yang beres orang-orangnya. Padahal dirinya sendiri pun juga tidak lepas dari kelemahan: suka tidak ikhlas mengajari ngaji, main cambuk ke murid-muridnya kalau gagal membaca ayat, plin-plan, iri hati.
Novel Lampuki ini menarik untuk diikuti, hanya saja alurnya bergerak sangat lambat dan baru di paruh kedua pembaca akan mendapatkan geregetnya. Selain itu juga dari lembar awal sampai akhir terus menyinggung kumis Ahmadi, meskipun sudah dibuat bab khusus tentang kumisnya. Rasanya bosan membaca kumis di mana-mana, hahaha.
Saya ingin menyampaikan bahwa novel ini terkesan seperti kumpulan cerpen sebab dari satu bab ke bab yang lain seolah berdiri sendiri dan tidak ada pengait cerita yang mengentak untuk menuju ke bab berikutnya, sekalipun benang merahnya tetap ada. Buku ini penuh narasi, minim dialog. Untuk sebagian pembaca mungkin biasa saja, tetapi bagi sebagian lainnya bisa membuat jenuh dan mengantuk.
Bahasanya mudah dimengerti. Diksinya ringan dan asyik. Alurnya campuran. Untuk karya tahun 2010-an ini termasuk luas khazanah kosakatanya, lho.
Buku ini saya rekomendasikan kepada penggemar fiksi sejarah maupun yang ingin lebih dekat dengan Aceh atau yang ingin berkenalan dengan penulis asal Aceh.
Lewat Lampuki, mari kita terus mengisi ruang di Republik Indonesia dengan perdamaian. Tidak ada lagi perpecahan maupun peperangan.
Minat baca?
•••
Kutipannya:
Hanya orang-orang berjiwa besar dan berkelebihan khusus saja yang sanggup memimpin dan menyatukan negeri celaka ini. (Hal. 30)
Setiap orang yang berkuasa, pastilah berhasrat untuk menguasai dan menjajah kelompok orang yang lebih lemah. Hanya bangsa lemah sajalah yang mampu dikuasai. (Hal. 31)
Siapakah orang yang sanggup tahan atas penindasan? Dan, siapakah orang yang rela tanah dan agamanya dinista oleh sekelompok orang tidak beradab? Selemah apa pun orang yang telah jera terus-menerus ditimpa azab, pastilah akan melawan, meskipun jiwanya jadi taruhan. (Hal. 31)
Tiada seorang manusia pun yang hebat di muka bumi ini. (Hal. 105)
Bahwa dalam penjelasan suatu perkara, menyangkut sebuah kejadian, sesuatu yang tidak pantas kadang kala menjadi mutlak untuk diungkapkan. (Hal. 114)
Apa pun pendapat orang tentang segala nasihat bijak, sejatinya kita lebih mengenal diri kita sendiri. (Hal. 193)
Kadang kala hukum memang harus ditegakkan dengan kekerasan, suka atau tidak suka. Pahamkah kaliah?! (Hal. 279)
Manusia sering kali terjerumus dan mudah tergoda. (Hal. 284)
Perang hanya akan mendatangkan kehancuran bagi semua orang. Mereka yang menang akan menjadi arang dan mereka yang kalah menjadi debu. Bila ada yang mengatakan bahwa perang itu baik, itu hanyalah orang pesong! (Hal. 334)
0 Komentar