•••
Identitas buku:
Judul: Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia
Penulis: Clifford Geertz
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun: 2016
Jumlah: xxii + 218 halaman
ISBN: 9799799542383
Kategori: Nonfiksi
•••
⭐: 4.3/5
Blurbnya:
Satu lagi karya dari seorang antropolog budaya paling berpengaruh di Amerika Serikat selama tiga dekade yang menggunakan Indonesia sebagai objek penelitiannya. Karya ini awalnya merupakan bab pertama esai programatis Clifford Geertz, “The Development of the Javanese Economy: A Sosio-Cultural Approach”—hasil dari penelitian proyek yang dilakukan Massachusetts Institute of Technology pada 1956. Banyak pengembangan dan perbaikan dilakukan terhadap tulisan tersebut sehingga buku tentang kemunduran pertanian di Indonesia ini dapat lahir.
Seperti penelitian yang dilakukan sebelumnya, Geertz menggabungkan beberapa disiplin ilmu dalam karya antropologinya. Kali ini dengan menggunakan berbagai pendekatan—utamanya ekologis—Geertz mendeskripsikan perkembangan penggunaan lahan di Indonesia pada masa kolonial Belanda dari abad ke-17 hingga abad ke-20. Sistem Tanam Paksa yang diterapkan pemerintah kolonial ketika itu nyatanya tidak berhasil menjadikan pertanian Indonesia mengalami evolusi, melainkan sebaliknya. Involusi ini menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah serta kemiskinan yang dibagi rata (shared property). Menurut antropolog ini, sistem pertanian dan sistem budaya menjadi pemicu dari kondisi involutif tersebut. Selain itu, dikotomi sawah-ladang dan Indonesia Bagian Dalam (Jawa)-Indonesia Bagian Luar (Luar Jawa) yang digunakan Geertz memperlihatkan perbedaan mencolok pola penggunaan lahan yang sedikit banyak dapat merefleksikan keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia pada saat itu.
•••
Resensinya:
Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia menggunakan keterkaitan ekologi dan kebudayaan dalam konteks geografi, ekonomi, politik, dan sejarah Indonesia. Buku ini mengulas terjadinya involusi di bidang pertanian, khususnya di Jawa, sejak awal penjajahan Belanda hingga setelah kemerdekaannya. Fenomena involusi pertanian merupakan hasil dari kolonialisme Belanda beserta kebijakannya, pertambahan kepadatan penduduk yang cepat, serta sistem sosial budaya masyarakatnya. Dampaknya? Indonesia mengalami kesulitan dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Bagaimana asumsi itu terbentuk?
Buku ini terdiri atas tiga bagian besar yang berisi alur pikiran penulis di dalamnya. Sebagai awal mula, Bagian Pertama, pembaca akan diajak meninjau aspek kebudayaan hasil interaksi manusia dengan alam. Penulis membagi dua tipe ekosistem pertanian di Indonesia, yakni Indonesia Bagian Dalam yang terpusat pada Jawa dan bercirikan persawahan, serta Indonesia Bagian Luar yang berada di luar Jawa dan memiliki kecenderungan perladangan. Menurut penulis, pembagian wilayah tersebut menjadi relevan jika populasi penduduk Pulau Jawa lebih banyak dan padat dibandingkan dengan di luar Jawa, serta keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat dari ketimpangan distribusi penduduk.
Kemudian pada Bagian Kedua, pembaca akan mulai menemukan kristalisasi pola-pola involusi. Disebutkan bahwa pada permulaan masa penjajahan, pola ekologi di Jawa dapat dikatakan sudah tetap: Jawa dengan persawahannya, dan Luar Jawa dengan hutan tropis dan perladangannya. Kedatangan Belanda dengan kebijakan politik ekonomi kolonialnya (1619-1942, VOC, Sistem Tanam Paksa, Sistem Perkebunan Besar) mencari produk pertanian Indonesia, membawanya, kemudian menjualnya ke pasaran dunia tanpa mengubah struktur ekonomi pribumi secara asasi. Belanda menginginkan hasil pertanian Indonesia memasuki dunia modern, menghasilkan produk berkelas dunia, sedangkan penduduknya tetap dalam kepribumiannya, tetap pada dunia lama. Kondisi ini menyebabkan struktur ekonomi yang oleh Boeke disebut sebagai sistem “dua muka” (dualisme), suatu struktur yang tidak seimbang antara sektor ekspor yang kian berkembang (secara kapitalisme administratif) dengan sektor domestik/dalam negeri yang melemah (meliputi pertanian unit keluarga, industri rumahan, dan perdagangan dalam negeri).
Untuk meraih pasar internasional, menguasai dunia, dan mengembangkan ekonomi untuk pertimbangan kas Belanda, Pemerintah Hindia Belanda terus mendorong penduduk pribumi untuk berproduksi memenuhi pasar dunia, memonopolinya dengan mendapatkan kontrol menyeluruh atas sumber-sumber komoditi. Kondisi pada Sistem Tanam Paksa menjadi awal mula involusi pertanian. Dimulai dari modifikasi sistem sawah dari padi menjadi tebu kemudian menerapkan imperialis dan eksploitasi, mengukuhkan perpajakan dan penguasaan tanah yang menguntungkan Belanda serta tuan tanah atau pemilik perkebunan. Sementara itu masyarakat pribumi memberikan sokongan berupa subsidi dalam bentuk upah dan sewa tanah.
Peningkatan lahan persawahan menjadi perkebunan berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduknya. Penekanan penanaman tebu menuntut pribumi lebih produktif dalam pengelolaan sawahan. Membuat terjadinya intensifikasi dalam pembukaan lahan-lahan baru sehingga menciptakan kebutuhan akan tenaga-tenaga manusia yang banyak untuk kegiatan produksi. Hal tersebut berimbas pada pembagian hasil yang diterima yang oleh penulis sebut dengan shared proverty atau kemiskinan yang dibagi rata. Sederhananya berbagi kemiskinan.
Dua sistem yang terjadi akibat dari keruwetan sistem pertanian yang dihadapi petani Jawa yakni pertama, terjadinya involusi pertanian dalam cara bertani (luasan lahan yang dimiliki tidak lagi dihitung dari per kapita, melainkan per hektar untuk tiap anak-anaknya). Dampak adanya bagi-bagi lahan menciptakan struktur sosial tuan tanah-buruh tani dan masyarakat yang cenderung egaliter. Yang kedua sistem budaya yang menjunjung tinggi perilaku komunal sebagai penyebab terjadinya involusi kebudayaan masyarakat Jawa.
Buku ini bersifat teknis, menyajikan data dan teori sehingga memerlukan waktu untuk menelaah dan memahami (dan membiasakan diri). Selain itu meski telah lewat lebih dari puluhan tahun lamanya, tetapi bacaan ini tetap relevan hingga hari ini. Sampai Indonesia merdeka pun, persoalan pertanian kita makin rumit dan kompleks: konversi lahan pertanian menjadi permukiman, rendahnya minat di bidang pertanian, berkurangnya jumlah petani, regenerasi petani muda, permasalahan sistem pertanian dari produksi hingga distribusi, mafia pangan. Itu belum termasuk perbandingan jumlah penduduk dengan ketersediaan bahan pangan. Ah, ada lagi: prediksi krisis pangan 2025, Ges.
Jadi, sebagai generasi kekinian, generasi muda, apakah berminat untuk menjadi petani modern dengan teknologi tepat guna untuk menghasilkan produk pertanian yang unggul? Saya cuma bisa menjawab, mari sukseskan Sensus Pertanian 2023.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Perkembangan persawahan Jawa (sebelum masehi) disebabkan oleh berkah alam. Seperti yang dikatakan ahli geologi Belanda, Mohr, kombinasi tersebut adalah unsur yang sudah ada dan menjadi anugerah tersendiri, yaitu api, air, tanah, dan udara. (Halaman 49)
Di tengah-tengah pasang surutnya berbagai kebijaksanaan masa penjajahan merupakan suatu jangka panjang untuk membawa hasil pertanian Indonesia memasuki dunia modern, sedangkan penduduknya tetap di dunia lama. Cara-cara untuk melaksanakan usaha tersebut, yaitu menjaga penduduk pribumi agar tetap dalam kepribumiannya dan juga dapat menghasilkan produk berkelas dunia. (Halaman 60)
Demikianlah, ketika sebagian besar petani Jawa bergeser ke arah involusi pertanian, kemiskinan bersama, elastisitas sosial, dan kebudayaan yang mengatur, minoritas kecil petani Luar Jawa bergeser ke arah spesialisasi pertanian, indivudualisme yang tegas, pertentangan sosial, dan rasionalisasi kebudayaan. (Halaman 144)

0 Komentar