Perihal takdir dan esensi kehidupan manusia.
Identitas buku:
Judul: Ny. Talis (Kisah Mengenai Madras)
Penulis: Budi Darma
Penerbit: GPU
Tahun: 2023
Jumlah: 272 halaman
ISBN: 9786020672663
Kategori: novel, fiksi, filosofi, penggalan hidup
•••
Blurbnya:
“…yang dulu ada, sekarang tidak ada. Yang sekarang ada, kelak tidak ada. Yang sekarang belum ada, kelak akan ada.”
Inilah kisah tentang Ny. Talis, perias pengantin yang dapat melompat dari satu gedung ke gedung lain, sehingga dia mampu merias banyak pengantin dalam sekali tempo. Ini juga tentang Santi Wedanti penyanyi, pemilik restoran, sekaligus calon sarjana hukum. Juga perihal Wiwin, sang pelukis yang meninggal dalam kecelakaan mobil usai melakukan pameran di Jakarta. Dan tentu, soal Madras yang setiap hari menyaksikan debu beterbangan sekaligus pengikat banyak tokoh dan keajaiban.
Novel ini merekam perjalanan hidup manusia dalam menapaki titah sang nasib, hingga menemukan hakikat di hadapan Sang Maha Pencipta, sekaligus kefanaan dirinya.
•••
Garis besarnya:
Mengisahkan kehidupan Madras dari kelahirannya sampai kematiannya. Madras, yang hidup secara sembrono dan suka-suka, memiliki kecakapan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan secara mudah, baik dengan bersungguh-sungguh maupun tidak bersungguh-sungguh. Dia lantas bertemu dengan tokoh-tokoh lainnya: Ny. Talis, seorang perias pengantin; Santi Wedanti, penyanyi-pemilik restoran-dan calon sarjana; Wiwin, pelukis yang serba bisa; burung aneh, dan lainnya. Cerita kemudian berkelindan pada hubungan asmara Madras dengan perempuan-perempuan yang dia jumpai sampai Madras menjatuhkan pilihan kepada salah seorang di antaranya, serta ada kisah kehidupan Ny. Talis dengan suaminya. Kedua pasangan itu lantas menjalin pertemanan sampai ke anak-anak mereka.
•••
Resensinya:
Saya cukup terkejut usai membaca novel ini. Rasa-rasanya agak lain dari cerpen-cerpen maupun novel Budi Darma lainnya. Terasa berbeda. Meskipun pembaca masih tetap menemukan hal-hal absurd dan ajaib di dalamnya, yang memang khas Budi Darma dalam menyajikan cerita, tetapi tidak meledak-ledak atau liar atau aneh atau mendebarkan. Novel yang ditulis sewaktu masih di Bloomington, Indiana, ini cenderung biasa-biasa saja.
Namun, biasanya novel ini justru padat berisi lagi penuh filosofi. Dan saya berulang kali menarik napas sewaktu membaca novel ini. Sungguh.
Nya. Talis, Kisah Mengenai Madras bercerita tentang perjalanan hidup Madras, sang tokoh utama, dari lahir, tumbuh dewasa, merasakan cinta, menikah, memiliki anak, mendapatkan cucu, menjadi tua, kemudian meninggal. Sudah. Sederhana sekali, bukan? Namun, kisah yang saling bersangkut paut antartokoh tersebut, dari awal hingga akhir sudah diuraikan dengan jelas pada lembar pertama novel ini dalam dua kalimat:
Inilah takdir saya. Dari debu, naik ke kekuasaan. Dan dari kekuasaan kembali ke debu (hal. 3).
Debu, seumpama kehidupan, ia ringan, tertiup angin dan mengambang, mengikuti arah angin, mendarat, kadang cepat kadang melambat, menempel, luruh, lenyap. Dari debu menjadi debu. Dari tanah kembali ke tanah.
Lebih lanjut plot, dialog, narasi yang ada dalam lembar-lembar novel ini memuat pencarian jatidiri manusia, perkara kefanaan hidup, kematian. Kedengarannya berat, tetapi kalau kita merenung saja memang hal-hal semacam itu selalu menjadi bahan pertanyaan manusia pada umumnya, kan? Bisa jadi menjadi misteri Ilahi yang kita pun tidak tahu jawabannya. Saya pribadi sering kali bertanya-tanya kepada diri sendiri: mengapa saya lahir, mengapa lahir sebagai manusia, mengapa harus dewasa, bagaimana saya mati nantinya, sudah seberat apa dosa saya, sudah seberat apa amal saya, dan mengapa-bagaimana-kenapa lainnya.
Bagi yang terbiasa atau pernah membaca karya-karya Budi Darma, ada satu tema yang selalu melekat di dalamnya: hubungan antarmanusia, dan dalam novel ini pula, Budi Darma mengaitkannya dengan takdir. Bukan untuk menuntut Tuhan akan takdirnya, melainkan mengajak berpikir secara terbuka atas mengapa seseorang bisa memiliki takdir baik, mengapa seseorang bisa berada di lingkungan baik, mendapat kejadian baik, bertemu orang baik, mengapa pula orang memiliki takdir buruk, mengapa orang bisa mendapat kejadian buruk, bertemu orang jahat, apakah keduanya bisa dipertukarkan, apakah bisa diubah.
Benarlah memang takdir merupakan ketetapan Tuhan, dan dalam novel ini saya mendapati bahwa keluarga mengambil peran dalam penentuan nasib anak-anak mereka, pengaruh lingkungan dan sikap manusia turut serta membawa nasibnya kepada takdir, termasuk memberikan gambaran bahwa takdir pun bisa diubah oleh kemauan manusianya sendiri (kecuali yang bersifat tetap: kematian). Karakter Madras dan Ny. Talis-lah yang merepresentasikan hal tersebut. Madras berasal dari keluarga baik-baik, kehidupannya pun selamat dan bahagia sampai beranak-cucu. Ny. Talis yang sedari kecil diabaikan orang tua kandung, bertemu orang tua angkat yang culas, berjodoh dengan suami jahat seperti iblis (KDRT plus impoten pula), tetapi akhirnya bersuamikan dokter baik dan memiliki anak (setelah suami pertama meninggal).
Benar-benar novel yang mengulik esensi manusia dan saya akui cara penyampaiannya memang berbeda: lebih realistis dan lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Karakter-karakter dalam novel ini saling terhubung satu dengan lainnya dan di beberapa bagian Budi Darma memberikan kisahnya masing-masing. Tokoh-tokohnya memiliki keunikannya sendiri-sendiri dan Budi Darma mengolahnya menjadi karakter yang seolah tidak mungkin nyata ada manusia semacam itu, absurd, tetapi normal dan wajar.
Ada nilai-nilai positif dan baik dari para tokoh dalam buku ini. Tokoh-tokoh perempuan yang berdikari dan memiliki kesadaran penuh atas pilihannya, memiliki kecakapan-kecakapan dan semangat belajar dengan tidak meninggalkan tanggung jawab sebagai istri ketika di rumah. Melalui Madras, Budi Darma menggambarkan contoh menghadapi hidup dengan ketenangan pikiran dan keberterimaan. Karakter Wiwin yang memberikan pengaruh kepada Madras sampai dia akhirnya memiliki tujuan. Dari Ny. Talis pembaca dapat belajar ketabahan dan kesabaran dalam menjalani hidup.
Menyenangkan membaca buku ini. Diksi sederhana membuat pembaca cepat dan mudah menikmati ceritanya hingga akhir. Alurnya maju serta narasinya tidak bertele-tele, lugas, tetapi muatannya filosofis. Bab-babnya pendek-pendek serta tidak memuat kalimat-kalimat panjang. Jika berharap novel ini memiliki konflik berat, sayangnya tidak. Barangkali bagi sebagian pembaca cenderung bosan sebab kisahnya yang flat atau monoton karena minim konflik, nyaris tidak ada sama sekali malah. Novel ini lebih banyak ke arah kematangan karakter-karakternya melalui interaksi yang terjalin, baik itu perihal cita-cita, keyakinan, cinta kasih, dan termasuk menyikapi takdir dan kematian.Yaa … kayak kalau kita tengah dialog dengan diri sendiri perihal hidup atau membahas topik kehidupan dengan teman dekat.
Teruntuk penggemar Budi Darma, sayang melewatkan edisi cetak ulang terbaru Ny. Talis (Kisah Mengenai Madras) yang sebelumnya pernah diterbitkan Grasindo pada tahun 1996. Kovernya saja cakep. Saya merekomendasikan ini untuk remaja dan dewasa serta bagi mereka yang ingin mengenal esensi kehidupan diri sendiri.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Inilah takdir saya. Dari debu, naik ke kekuasaan. Dan dari kekuasaan kembali ke debu. (Hal. 3)
Yang ada, itu ada. Yang tidak ada, itu ada. (Hal. 38)
Segala sesuatu pasti ada riwayatnya. Kamu tahu makna takdir? (Hal. 62)
Orang yang sudah ditakdirkan untuk menjadi jodoh pasti mempunyai banyak persamaan, (Hal. 71)
Tuhan telah menciptakan manusia, lengkap dengan kesibukan dan pekerjaannya masing-masing. (Hal. 75)
Makin pandai saya, makin tidak puas saya. Maka saya bisa terjerat. (Hal. 83)
Nabi Nuh pernah berkata, apabila akhir kehidupan adalah kematian, maka panjang pendeknya umur adalah sama. Dan Nabi Nuh adalah manusia paling panjang umurnya, Bagi Nabi Nuh, dunia bagaikan berpintu dua. Kita masuk dari pintu satu, kita keluar dari pintu lain. (Hal. 105)
Semua agama yang diakui pemerintah bagi dia sama. Semua mengajarkan kebaikan, kebajikan, dan cinta kasih. Semua juga mengajarkan bahwa hidup dan mati di tangan Tuhan. Tapi tidak mungkin dia ganti-ganti agama bagaikan ganti baju. Tidak mungkin juga pindah-pindah agama bagaikan pindah rumah. (Hal. 106)
Karena terkejut dan tidak terkejut bukan masalah pokok dalam manusia. Tapi terkejut atau tidak terkejut adalah masalah manusia. (Hal. 116)
Apa pun agama seseorang, dia akan melawan apabila disiksa. Perlawanan belum tentu kekerasan. Mungkin dengan kasih sayang. Paling tidak dia akan menghindar. (Hal. 117)
Masa kanak-kanak tidak akan mati, untuk selamanya. (Hal. 128)
Segala sesuatu pasti ada sebabnya. Apabila sebab yang jelas tidak mungkin didapat, maka kambing hitam pun perlu diciptakan. (Hal. 151)
Manusia apakah yang sanggup menghadapi waktu? Tidak ada. (Hal. 195)
Meskipun saya sedang tidak berada di mana-mana kecuali dalam kegelapan, saya dapat menyaksikan bahwa Maha Pencipta selalu mengulurkan pengampunan baik siang maupun malam. (Hal. 218)
Mencari pengadilan mudah, tapi mencari keadilan sangat sulit.(Hal. 233)
Dunia makin tua, tapi tidak pernah tampak makin tua. Karena generasi demi generasi datang, manusia tampak selamanya muda. (Hal. 251)
0 Komentar