Kura-Kura Berjanggut

Novel yang kaya akan manuver

•••

Identitas buku:

Judul: Kura-Kura Berjanggut

Penulis: Azhari Aiyub

Penerbit: baNANA

Tahun: Cetakan kelima: 2021

Jumlah: 960 halaman

ISBN: 9789791079648

Kategori: novel, fiksi, fantasi, aksi


•••


Blurbnya:

Dua budak perempuan Abesy turun di Bandar Lamuri pada paruh kedua abad keenam belas. Bintang-bintang di langit pun mulai bergerak menandai awal mula perubahan besar di negeri-negeri Selat Malaka. Anak lelaki salah seorang budak itu kemudian tampil merebut kekuasaan melalui Pembasmian Merica. Dinasti lama tersingkir, demikian pula penguasa sesungguhnya kawasan Selat: kongsi dagang Ikan Pari Hitam.


Si Ujud sedang belajar di Sekolah Perkapalan dan Lautan Istamboel saat mengetahui kedua orang tuanya menjadi korban pembantaian. Demi membalaskan dendam, ia rela menempuh jalan berputar: merompak bersama Tata Sirf melawan Liga Suci, memimpin eskader Bambu Hitam di perairan Sulu, dan bahkan menjadi mata-mata Anak Haram Lamuri. Namun, tak hanya Si Ujud yang bergerak. Persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut berkali-kali mengirimkan pembunuh bayaran demi mendapatkan kepala Sultan Lamuri.


Lamuri tak bebas dari banjir darah tiga abad kemudian ketika sekian ekspedisi dikerahkan pemerintah kolonial Hindia Timur. Setelah perlawanan rakyat Aceh diredam, muncul para pembunuh yang hanya mengincar orang kulit putih — suatu hal yang bahkan tak bisa diperkirakan oleh Snouch Hurgronje.


KURA-KURA BERJANGGUT menyerap kita ke dalam petualangan-petualangan menakjubkan yang melibatkan pertempuran di laut, muslihat di antara para pengkhianat, adu gajah sampai mati, nahkoda Zeeland gila, ulat merica, agama yang memuja Kerang yang lebih tua ketimbang alam semesta, wangsa Pemburu Tuhan, penyelewengan perasaan penderita kusta, para pembunuh yang menumpang hidup di negatif foto, pertarungan burung tiung pencicip makanan raja melawan koki asal Lombardia, dan sufi Hamzah Fansuri yang diperebutkan Tarekat Burung Pingai dan Pertapa 33 Tasbih sekaligus ditakuti Anak Haram Lamuri.


•••


Garis besarnya:

Novel ini terbagi atas empat bagian dan satu bagian khusus glosarium. 


Bagian I: Buku Si Ujud. Bagian pertama ini mencakup dua pertiga dari keseluruhan novel (600-an halaman) sekaligus menjadi pusat cerita. Alkisah, pada abad ke-16, Ujud yang tengah belajar di Sekolah Perkapalan dan Lautan Istamboel mendapat kabar keluarganya menjadi korban pembantaian sultan baru, Sultan Nuruddin. Sultan tersebut melakukan gerakan revolusi besar-besaran di Kesultanan Lamuri yang dikenal dengan sebutan Pembasmian Merica. Dia melakukan pembersihan menyeluruh kepada seluruh keluarga kesultanan lama dan membantai semua anggota kongsi dagang Ikan Pari Itam, sebuah perusahaan dagang yang memonopoli lada di kawasan Selat sekaligus bisa menentukan siapa-siapa saja yang duduk dalam kesultanan. Berbekal dendam, Ujud pun kembali ke Lamuri, setelah melewati banyak petualangan (merompak, memimpin eskader, sampai terkena raja singa) dan merancang pembunuhan sang sultan. Tidak disangka, tatkala menyusup di kesultanan, Sultan Nuruddin malah memberinya jabatan sebagai mata-mata. Ujud pun menggunakan kesempatan tersebut sebagai satu cara tidak sekadar bisa dekat dengan sultan melainkan juga membunuhnya. Di lain pihak, yang menginginkan sang sultan mati tidak hanya Ujud. Sisa-sisa anggota Ikan Pari Itam membentuk satu organisasi bernama Persaudaraan Rahasia Kura-Kura Berjanggut. Mereka merencanakan dan melancarkan berbagai taktik pembunuhan kepada sultan, bahkan menyusun sebuah Buku Resep Kura-Kura Berjanggut, sebuah panduan singkat untuk membunuh Sultan Nuruddin.


Bagian II: Buku Harian Tobias Fuller: Para Pembunuh Lamuri. Berlatar tiga abad setelahnya, saat era kolonialisme Belanda. Bagian kedua ini memuat pembunuhan-pembunuhan acak orang Lamuri terhadap orang kulit putih. Disusun layaknya buku harian yang persisten berdasarkan tanggal, Tobias Fuller, seorang dokter jiwa, mencoba menggali peristiwa tersebut. Satu persamaannya yakni para pelaku telah membaca Buku Resep Kura-Kura Berjanggut.


Bagian III: Lubang Cacing. Berisi judul-judul yang mengisi lagi melengkapi cerita-cerita pada dua bagian sebelumnya dari sudut pandang banyak tokoh.


Bagian IV: Catatan Bantaqiah Woyla. Bagian penutup dari keseluruhan cerita. Layaknya editor, Bantaqiah Woyla berusaha menerbitkan buku Kura-Kura Berjanggut setelah dia mendapatkan manuskrip “ Buku Si Ujud” dan “ Buku Tobias” dari Tajul Muluk, pamannya, seorang tahanan politik yang dieksekusi mati Pemerintah Indonesia.


Terakhir, Glosarium. Ini seperti kamus yang memuat daftar kata (tokoh, tempat, kejadian, keterangan lainnya) berikut penjelasannya dari huruf A hingga Z.


•••


Resensinya:

Luar biasa dan salut!


Luar biasa sebab saya akhirnya bisa menyelesaikan buku ini satu bulan lebih seminggu lamanya setelah mengalami pasang surut membaca-selingkuh ke buku lainnya, hahaha. Hingga saat saya menuliskan resensi ini, Kura-Kura Berjanggut menjadi satu-satunya novel super-panjang-dan-tebal yang pernah saya baca, baik secara halaman maupun bentangan kisahnya. Sungguh definisi buku yang setidaknya layak dibaca sekali seumur hidup.


Salutnya kepada sang penulis, Azhari Aiyub, yang menyusun materi Kura-Kura Berjanggut selama kurang lebih 12 tahun masa penulisan. Buku ini memang layak diganjar penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. Salut juga untuk penyunting buku, Paman Yusi Avianto Pareanom (penulis novel Raden Mandasia, Pengantin-Pengantin Loki Tua) yang menyertai sehingga buku ini menjadi novel apik dan epik.


Saya tidak akan terlalu banyak menuliskan resensi, sebab kalau saya harus mendedah satu persatu bakal kepanjangan. Bukan tidak mau, tetapi jangkauan cerita dalam buku ini luas sekali. Ada cerita dalam cerita. Bagian pertama saja tidak sekadar mengisahkan petualangan Ujud (perjalanannya ke sekolah-menjadi bajak laut-dst. itu dikisahkan sendiri-sendiri dalam bab-bab terpisah, lho), melainkan diselipi cerita masa-masa kelam Sultan Nuruddin sebelum berkuasa: disingkirkan, dipenjara (itu belum termasuk awal-awal masa pemerintahan yang sulit untuk membangun infrastruktur dan kehidupan sosial masyarakat). Kemudian ada kisah sang ibu sultan dari seorang budak menjadi ratu berpengaruh di Kesultanan Lamuri sebelum mati diracun. Belum lagi cerita si Buduk, mata-mata selain Ujud yang menjelajah ke mana-mana untuk mengungkap Persaudaraan Kura-Kura Berjanggut. Ekspansi Sultan Nuruddin ke kerajaan tetangga. Kedatangan para duta besar. Lalu ada kisah Mutiara Tuhan yang konon merupakan milik Nabi Sulaiman, sampai sejarah terbitnya Undang-Undang Gajah, adu gajah. Semua itu, semuanya itu … tersebar di bab-bab, puluhan lembar, ratusan halaman. 


Belum bagian kedua-ketiga-keempatnya, wkwkwk. 


Membaca Kura-Kura Berjanggut seperti menilik kejayaan Kepulauan Rempah-Rempah (nusantara) melalui Kesultanan Lamuri (sekarang Aceh) pada abad 16. Saya meyakini pembaca mengetahui dari sejarah seperti apa negara kita dulu. Betapa hebat dan tangguhnya. Kerajaan Lamuri (baik saat era lama maupun di bawah kekuasaan Sultan Nuruddin) memanfaatkan rempah (merica) yang melimpah sebagai tulang punggung perekonomian. Novel ini merekam sejauh mana Bandar Lamuri yang begitu ramai dikunjungi pedagang, pelaut, hingga duta besar negara-negara dunia termasuk Negara Atas Angin, menjalin perdagangan dengan mereka melalui jalur pelayaran yang memang strategis.


Kekuatan maritim Lamuri pun tidak main-main, patut diperhitungkan. Kesultanan Lamuri memanfaatkan armada perang untuk mengendalikan jalur niaga di sekitar Selat Malaka serta ekspansi ke negara sekitar. Bahkan, Kerajaan Lamuri mampu mengalahkan para utusan Negeri Atas Angin yang bermaksud menyingkirkan sang sultan lantas menjarah merica.


Novel ini juga menyoroti gemerlap kejayaan—beserta lika-likunya—pada bagian pertama melesap lenyap pada bagian keduanya. Lamuri tidak lagi digdaya, ia tidak ubahnya menjadi kota mati dalam kurun waktu tiga abad (yang sayangnya tidak dijelaskan sebab musababnya mengapa). Hanya tersisa sedikit kemeriahan masa lalu yang tergambar pada era kolonialisme Belanda di Lamuri. 


Dalam pandangan saya, buku yang berlatar abad 16 ini tema utamanya bukanlah balas dendam, tetapi lebih ke kapitalisme. Akar permasalahan utamanya terletak pada kongsi dagang Ikan Pari Itam, pemain tunggal perdagangan lada internasional juga secara tidak langsung menguasai Kesultanan Lamuri termasuk menentukan siapa yang duduk menjadi sultan. Sayangnya, ketenaran perusahaan tersebut serta kebesaran nama Kerajaan Lamuri sebagai penghasil rempah tidak sebanding dengan kondisi masyarakatnya yang cenderung miskin.


Buku ini memuat banyak tipu muslihat, pengkhianatan, intrik pembunuhan dan dendam yang dilakukan tidak hanya oleh narator (Aku dalam bagian pertama, Si Ujud) melainkan juga oleh Sultan Nuruddin dan tokoh-tokoh lainnya. Bisa saya katakan bahwa tidak ada yang benar-benar putih dan hitam. Semuanya punya potensi untuk saling mendendam, saling membunuh, saling menipu, saling berkhianat. Para karakter berkelindan dan memiliki alasannya masing-masing yang menjadi sebab-akibat sekaligus penggerak cerita.


Sebagai kisah panjang, pembaca bakal menemui bumbu-bumbu cerita yang bernapaskan agama, politik, relasi kuasa, feminisme, sampai mistisme. Misalkan saja Ramla, ibu Sultan Nuruddin, yang piawai bernegosiasi, memberikan usulan-usulan jitu, menggugat dominasi laki-laki di dalam istana kala itu dengan pendapat yang sulit dibantah. Ada doktrin agama yang mengakar kuat dalam sebuah komunitas tertentu, seseorang yang menyembah kerang sebagai tuhannya, hingga pengkultusan seseorang sampai-sampai terbentuk kaum pemuja atau sektenya. Tidak cukup, Azhari juga memberikan sentuhan realisme magis dengan memasukkan kepercayaan terhadap ramalan-ramalan melalui tafsir mimpi maupun Peta Langit juga seekor burung yang menjadi pencicip makanan sebelum dimakan sultan. Politik? Wah, kalau perihal ini saya meyakini intrik politik dalam istana itu sudah jadi rahasia umum: memenjarakan penerus dengan berbagai cara, pembunuhan, fitnah, kudeta, dll. Namun, ada yang menarik dalam buku ini, yakni tatkala Ujud berpetualang sebelum kembali ke Lamuri. Setidaknya, pembaca bakal mendapati pembahasan terkait politik perairan jalur rempah-rempah yang menyebabkan Ujud menjadi bagian dalam perompak, melawan Liga Suci (kayaknya Eropa, kayaknya ….).


Membaca Kura-Kura Berjanggut yang tebalnya 900-an halaman jelas membutuhkan waktu, terutama konsentrasi tinggi. Tidak main-main, Azhari memberikan banyak tokoh dan banyak lompatan cerita di dalamnya; kisahnya nonlinier alias beralur maju-mundur sehingga berpotensi meleng sedikit saja pembaca bakal membolak-balik halaman atau mencari-cari bagian mana kisah tertentu atau nama seseorang terkait. 


Azhari cerdik menempatkan bagian-bagian buku ini yang terkesan tidak saling berkaitan. Namun, usai dibaca, pembagian bab menjadi satu bagian besar dan tiga bagian lainnya sebagai pelengkap bagian pertama. Keren.


Diksinya enak dibaca, tidak terlalu rumit atau susah. Narasinya panjang-panjang sehingga yang tidak terbiasa dengan kalimat-kalimat panjang akan merasa bertele-tele, cepat bosan, dan lelah. Bacalah ceritanya sambil mengecek glosarium, biar makin paham siapa atau di mana atau kapan kejadiannya. Buku ini juga mengandung humor gelap.


Terakhir, tidak ada adegan pertarungan seperti silat atau ilmu kanuragan. Tidak. Karena, dalam pandangan saya, novel ini lebih banyak bicara tentang komoditi merica yang memengaruhi kesultanan dalam rentang waktu sekian tahun lamanya, serta lebih menonjolkan adu strategi (entah sang sultan, para penasihat, Ujud, kelompok Kura-Kura Berjanggut-nya) serta perlunya belajar sampai ke mana-mana, hehehe.


Saya rekomendasikan kepada pembaca yang menyenangi kisah-kisah fiksi sejarah (meski saya tidak tahu apakah kisahnya presisi dengan sejarah Lamuri yang ada di Aceh itu) maupun yang ingin memiliki pengalaman membaca yang berbeda karena jalan ceritanya.


Yang saya sayangkan itu terlalu banyak tokoh dan tempat yang membuat saya lupa-lupa ingat dan akhirnya beberapa ada yang sepintas lalu, lantas yang bikin geregetan yakni akhir cerita bagian pertama yang hanya dua lembar dan serius, cuma begitu? 


Meski demikian, saya menyukai bagaimana Azhari pada akhirnya memberikan kegagalan dan kekalahan bagi karakter-karakternya. Lebih adil begitu rasanya.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Jangan lupa, kita semua punya peluang untuk dituduh sebagai pengkhianat. (Hal. 15)


Sang Waktu adalah pengkhianat paling ulung sekaligus paling sulit ditebak. (Hal. 20)


Seekor harimau tidak akan pernah menceritakan bagaimana dia menjatuhkan mangsa-mangsanya. (Hal. 24)


Aku tidak pernah berharap lebih dari mereka, aku tidak pernah menuntut mereka untuk setia kepadaku, pengalaman mengajariku demikian. Kalau mereka tidak senang kepadaku, mereka boleh pergi kapan mereka mau, pintu selalu terbuka. Tapi, mereka tidak boleh mengkhianatiku. Tidak ada tempat bagi pengkhianat di hatiku. (Hal. 34-35)


Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada mencari sepenggal riwayat sia-sia. (Hal. 44)


Bahwa dunia tidak membutuhkan seorang penguasa yang lemah. Umat manusia hanya akan tunduk di hadapan kekuatan dan keberanian juga kecerdikan yang pada akhirnya akan sulit sekali dibedakan dari keculasan, serta rasa percaya diri dan ketenangan yang sempurna meskipun sifat-sifat tersebut milik seorang durjana. Durjana atau bukan itu tergantung siapa yang memandang. (Hal 95-96)


Kaulihat dunia tidak pernah berhenti memikirkan bagaimana caranya merampas uang dari tangan kita. (Hal. 415)


Semua kita pada akhirnya sendiri. (Hal. 618)


Kadang-kadang manusia memang tidak bisa berbuat apa-apa. (Hal. 673)


Terjadi banyak persamaan di dunia ini dalam sebuah rangkaian sebab-akibat yang kita pikir saling berhubungan tetapi sebetulnya hanyalah kebetulan, percayalah.  (Hal. 800)


Penderitaan dan rasa sakit terkadang membuat orang menemukan cara-cara yang ganjil untuk bertahan. (Hal. 869)


Apa kaupikir tidak ada skandal di dalam kehidupan orang-orang suci? (Hal. 871)


Posting Komentar

0 Komentar