Murambi, Buku Tentang Tulang Belulang


Pembasmian etnis di Rwanda 1994

•••

Identitas buku:

Judul: Murambi, Buku Tentang Tulang Belulang

Penulis: Boubacar Boris Diop

Penerbit: Shira Media

Tahun: 2023

Jumlah: 268 halaman

ISBN: 97896027760714

Kategori: novel, fiksi sejarah, kekerasan, pelecehan, thriller


•••


Blurbnya:

Novel ini menceritakan detik-detik menjelang, selama, dan setelah genosida Rwanda melalui sudut pandang berbagai tokoh dengan latar belakang berbeda. Dokter Karekezi, otak di balik pembantaian Murambi; Aloys Ndasingwa, jagal dan milisi Interahamwe; Jessica Kamanzi; penyintas sekaligus mata-mata tentara pemberontak; Cornelius Uvimana, eksil yang pulang dari pengasingan; hingga Kolonel Perrin, tentara yang merepresentasikan keterlibatan Prancis selama genosida Rwanda.

•••

Resensinya:

Kita kenalan sebentar tentang Negara Rwanda, yuk, salah satu negara kecil di Afrika yang mendapat julukan Tanah Seribu Bukit sekaligus negara terbersih di dunia: satu, dua, dan untuk laman arsip genosidanya di sini.


Sebelum ini, sangat mudah berteriak sekeras guntur, “Tubat-sembatsembe!” bunuh mereka semua! (Hal. 48)


Rwanda pada bulan April hingga Juni 1994, dalam rentang waktu sekitar 100 hari lamanya berubah menjadi tempat kubangan darah dengan mayat-mayat menutupi jalan dan menyumbat sungai-sungai. Setidaknya, menurut statistik setempat, 800.000 hingga satu juta nyawa penduduknya lenyap tergenosida. Maka bayangkan saja, kalau di rata-rata (ambil nilai maksimalnya), genosida di Rwanda kala itu bisa mencapai 10.000 orang terbunuh dalam sehari. Se-ha-ri. Pembunuhan brutal itu lebih banyak menggunakan golok; tetangga membunuh tetangga (meski ada yang tidak bersedia); segala usia dan jenis kelamin tidak ada yang selamat; pemerkosaan umum terjadi.


Apa yang menjadi pemantiknya? 


Menurut catatan penerjemah, Ari Bagus Panuntun, dalam buku ini pemicunya ketika Negara Api menyerang kolonialisme telah menancapkan pengaruhnya, menebalkan perbedaan suku-suku—yang semula tenang dan damai, pemisahan masyarakat karena jenis pekerjaan dan sifatnya fleksibel/tidak kaku, kemudian berubah menjadi kelas sosial yang menyebabkan ketegangan sepanjang waktu—yang ada di Rwanda sehingga jurang antarsuku dapat jelas terlihat. Berawal dari Jerman (membagi dalam tiga etnis: Tutsi, Hutu, dan Twa), diteruskan oleh Belgia (memperjelas dengan memberikan keterangan asal suku pada kartu identitas diri sehingga menyebabkan identitas kaku Tutsi-Hutu dan paham rasisme), makin memanas tatkala Prancis, dan meledak ketika Rwanda merdeka dan terjadi perebutan sengit di pemerintahan antara Tutsi dan Hutu.


Buntut aksi penembakan pesawat Presiden Rwanda, Juvénal Habyarimana, seorang Hutu pada April 1994 menjadi start awal genosida yang mengguncang Rwanda. Kala itu terjadi perdebatan pihak mana yang bertanggung jawab atas penembakan tersebut, bahkan sampai sekarang belum jelas titik terang siapa dalang di balik serangan tersebut. Persoalan penembakan itu membuat Interahamwe, kelompok paramiliter Hutu garis keras, yang didukung oleh pemerintah menyiapkan panggung terjadinya genosida, melancarkan pembantaian massal, pemerkosaan, dan pengusiran paksa. Ditambah dengan perbedaan antaretnis yang sudah meruncing, kian menambah eskalasi kekerasan yang mengerikan.


Sungguh, dalam sekali duduk, buku ini terlalu memilukan sampai-sampai berat tarikan napas saya dan perut saya menegang sepanjang membalik halaman demi halaman. 


Murambi, Buku Tentang Tulang Belulang (selanjutnya saya tulis MBTTT) melukiskan peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda 1994. Diop mahir mencampurkan elemen fiksi dengan kejadian nyata sehingga jalinan kisah-kisahnya makin ke belakang makin mencekam, penuh teror, tragis, dan memilukan. Dalam pandangan saya, Diop mampu mengemas cakupan sejarah pembersihan etnis Tutsi dengan menyuguhkan peran yang dimainkan kolonialis Prancis.


Terbagi dalam empat bagian, novel ini menuturkan kisahnya bergantian antara orang pertama (aku: sejumlah tokoh tentang genosida) dan orang ketiga (kepulangan Cornelius Uvimana, seorang anak dari pelaku pembantaian di sekolah teknik di Murambi, yang lama meninggalkan Rwanda). Diop sukses mengajak pembaca menyusuri kejadian demi kejadian pra-genosida, selama genosida, hingga pasca-genosida secara detail dengan narasi yang menggunakan banyak karakter atau suara dari tokoh-tokohnya. Setidaknya dengan tidak memakai narasi tunggal melalui salah satu tokoh, Diop dapat menghadirkan ragam sudut pandang dari karakter-karakter yang terlibat dalam kejadian saat itu sehingga pembaca bakal mendapati bermacam-macam situasi atau perasaan tidak nyaman selama menamatkan buku tersebut.


Sebut saja: ada suara kecemasan dari warga Tutsi sesaat usai pesawat yang ditumpangi presiden mereka terkena rudal; suara seorang petinggi Interahamwe yang berbincang dengan ayahnya, mengulang kembali kisah kebencian masa lalu antaretnis yang rupa-rupanya telah mendarah daging dan menjadikan pembantaian tersebut sebagai kesempatan membalas dendam; suara penyintas genosida yang terkepung perasaan marah-benci-bersalah sebab mereka selamat dari tragedi; suara seorang anak yang ayahnya terpaksa harus ikut membunuh kalau tidak ingin dibunuh; suara tetangga yang dituduh tetangganya karena sentimen pribadi; suara mata-mata Front Patriotik Rwanda yang menginginkan genosida berakhir; suara pengkhianat, seorang dokter Hutu beristrikan Tutsi yang mengumpulkan ratusan ribu orang Tutsi di sekolah teknik kemudian pasukan Hutu membinasakan para Tutsi, termasuk istri dan anak-anak sang dokter; bahkan Diop menuliskan kisah pemuka agama yang memanfaatkan situasi untuk memerkosa para perempuan dengan kedok mampu memberikan perlindungan. 


Yang menarik selain suara Cornelius, anak keturunan sang dokter, juga suara pihak Prancis ikut terseret dalam putaran genosida Rwanda. Prancis yang kala itu memiliki hubungan diplomatik dengan Rwanda hanya diam dan tutup mata tanpa berupaya mencegah pembantaian terjadi. Tidak hanya Prancis yang lepas tangan, dunia internasional pun gagal secara tragis dalam mengatasi tragedi Rwanda.


Ada rasa pedih dan ngilu usai membaca novel ini. Kalimat-kalimat tentang pembantaian tertulis dengan jelas, penjagalan dengan golok tersebar pada halaman-halaman buku ini. Adegan mayat teronggok (anak-remaja-tua-muda), pemerkosaan, darah di mana-mana menjadi kata-kata yang menghiasi MBTTT. Dalam pandangan saya, novel ini adalah tulisan terbaik dalam mengisahkan genosida. Diop sukses menuliskan pengalaman-pengalaman manusia secara fiksi dalam garis waktu faktual. 


Tidak usah khawatir soal terjemahannya. Pemilihan diksinya mudah dipahami, disampaikan dengan rapi, tidak bikin pusing, dan mengalir dengan baik sekalipun tema ceritanya suram.


Buku ini penting untuk dibaca oleh siapa pun, sebab genosida sejak dahulu selalu hadir mewarnai sejarah kelam dunia, termasuk Indonesia. Kita sama-sama sadari bahwa Indonesia pun sebelas dua belas dengan Rwanda yang memiliki kisah pernah dijajah dan mempunyai lebih dari satu etnis dan agama/kepercayaan. Indonesia pernah menorehkan kejadian genosida pada tahun 1965. Novel ini mengingatkan pembaca bahwa seseorang bisa hidup dan mati di tangan orang lain, dengan begitu mudahnya, dengan kekejaman yang entah seperti apa. Novel ini juga mengajak pembaca untuk kembali mengasah kepedulian dan kepekaan kemanusiaan. Toh, sebagai sesama manusia, kita sama-sama berbagi kehidupan di bumi ini, bukan?


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Bahkan, orang-orang yang paling enggan terlibat di antara kami pun tahu: begitu golok pertama telah menebas, tak ada pilihan lain kecuali mengakhiri sampai tuntas. (Hal. 42)


Menonton kesuksesan sendiri di mata orang lain adalah hal yang memabukkan. (Hal. 50)


Genosida seakan-akan menyemburkan seluruh sinar muramnya, menerobos tiap ingatan yang paling purba bahkan paling tak bernilai, lalu membuatnya terasa tragis, dengan makna ganjil yang tak akan ditemukan di sudut dunia mana pun. (Hal. 79)


Kemenangan sebenarnya dari para jagal adalah saat mereka berhasil mengaburkan segalanya. Saat semua orang berpikir kita menyembunyikan sesuatu. (Hal. 84-85)


Masalahnya, dalam setiap tragedi manusia yang paling mengerikan pun, selalu ada orang-orang yang selamat. Dan semua orang berpikir, mereka yang selamat adalah orang-orang yang beruntung atau pengecut. (Hal.145-146)


Akhir dari semua penjahat perang memang selalu kalah. (Hal. 191)


Satu yang ia tahu: menerima masa lalu adalah harga yang harus dibayar untuk menemukan kembali ketenangan dan makna masa depan. (Hal. 238)


Posting Komentar

0 Komentar