Identitas buku:
Judul: The Kingdom of This World, Kerajaan Kaum Budak
Penulis: Alejo Carpentier
Penerjemah: Jimmi Firdaus
Penerbit: Immortal Publishing (Shira Media) dan Octopus
Tahun: 2019
Jumlah: viii + 164 halaman
ISBN: 9786025868313
Kategori: fiksi sejarah, perbudakan, pemberontakan, kekerasan.
•••
⭐⭐⭐⭐/5
Blurbnya:
Rasa-rasanya memang benar jika sebuah pembangkangan dibungkam dengan darah dan kematian. Lalu orang siap dengan jiwa Phoenix-nya yang bangkit dari abu kematiannya:
“Apa yang diketahui orang kulit putih tentang masalah orang kulit hitam?”
•••
Garis besarnya:
Ti Noël muda menerima takdirnya sebagai budak di perkebunan Plaine du Nord milik Lenormand de Mezy. Meski demikian, dirinya menyukai kisah-kisah dewa-dewa orang Negro yang mampu bertransformasi, bermetamorfosis melalui kekuatan magis (Voodoo), serta cerita-cerita kepahlawanan dan perjuangan raja-raja mereka untuk meraih kebebasan yang dikisahkan oleh Mackandal, teman sesama budak di perkebunan.
Sampai suatu ketika, usai mengalami kecelakaan saat bekerja hingga membuatnya memiliki banyak waktu luang, Mackandal bersama budak-budak lain meracuni para tuannya hingga mengakibatkan dirinya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati, yakni dibakar hidup-hidup. Bagi orang Prancis tujuan pembakaran itu sebagai pembelajaran agar orang Negro berhenti melakukan pemberontakan, sementara di mata para budak, Mackandal tidaklah mati melainkan lenyap, berubah wujud.
Tahun-tahun berlalu dan keinginan merdeka terus bergolak dalam kaum Negro menyebabkan pemberontakan demi pemberontakan. Bahkan ketika Ti Noël harus ikut mengungsi ke tempat lain bersama majikannya, dan dijadikan bahan taruhan, juga turut serta menyaksikan pergerakan perubahan yang dilakukan oleh teman-temannya. Hingga ketika tersiar kabar tanah tempat asalnya telah dinyatakan merdeka, Ti Noël pun memutuskan kembali untuk tinggal di sana. Akan tetapi, kenyataan lain harus dia terima. Tirani baru atas perbudakan terjadi, kali ini pelakunya sang raja pertama, Henri Christophe, orang Negro yang juga terlahir sebagai budak.
•••
Resensinya:
Saya cukup lama menamatkan buku ini, sekitar dua hari. Bukan karena terjemahannya, bukan, melainkan untuk mengetahui latar waktu ceritanya. Perbudakan kaum negro di wilayah jajahan Eropa (koloni Perancis) yang terjadi di dunia itu kapan, sepertinya saat pelajaran sejarah saya tertidur barangkali atau bisa jadi juga memang tidak disinggung makanya saya tidak ingat. Karena penasaran, saya searching saja. Oh … Revolusi Haiti.
The Kingdom of This World, Kerajaan Kaum Budak, sebuah novel sejarah yang mengulik perjuangan para budak, orang-orang Negro, untuk terbebas dari belenggu perbudakan. Menarik membaca buku ini. Untuk jumlah halaman yang tidak terlalu tebal ini berisi lintasan waktu yang dilalui Ti Noël, si tokoh utama, sebelum-selama-dan setelah terjadi revolusi. Singkatnya, Ti Noël menjadi saksi hidup perjalanan pemberontakan Negro untuk merdeka, menghapuskan segala bentuk perbudakan di atas tanahnya sendiri.
Kalau menilik sejarah, Revolusi Haiti merupakan satu-satunya perjuangan yang berhasil dilakukan oleh budak Negro dan mereka mendapatkan kemerdekaan atas dirinya dan negaranya sendiri. Bukan hibah atau kesepakatan atau perjanjian. Murni hasil perjuangan dalam bentuk pemberontakan. Termasuk yang menginspirasi pergerakan atas kesetaraan manusia serta penghapusan perbudakan. Kalau penasaran dengan Revolusi Haiti bisa di-searching sendiri, ya.
Mengambil suasana Masa Kegelapan Haiti kala itu, dalam pandangan saya, penulis berhasil mereduksi latar, tokoh-tokoh yang beberapa di antaranya memang nyata sesuai fakta sejarah, dan peristiwa yang terjadi dengan membaginya dalam dua masa perbudakan dan pemberontakan yakni saat kolonial Prancis dan pemerintahan Raja Henri. Sekali lagi, penulis dengan cermat lagi apik membaurkan antara fiksi dan sejarah sehingga pembaca akan banyak mendapatkan kejadian-kejadian aktual selama revolusi tersebut dalam sudut pandang Ti Noël.
Nuansa kemistisan Voodoo tidak sekadar menjadi semacam iman dalam buku ini, melainkan juga sebagai sumber inspirasi dalam pemberontakan. Para budak, orang-orang Negro tersebut mampu mengubah diri mereka, bermetamorfosis menjadi binatang. Oleh sebab itu, gaya tulisan The Kingdom of This World mengusung realisme magis yang kental. Pembaca akan mendapati seseorang menjelma menjadi serangga, lain waktu menjadi anjing, sampai kunang-kunang. Bahkan Ti Noël di akhir cerita berubah wujud menjadi burung, semut, sampai angsa.
Oh, iya, ngomong-ngomong soal angsa, saya sempat bertanya-tanya kenapa kovernya angsa. Pasti ada sesuatu hingga menjadikan angsa sebagai tampak muka untuk terbitan Indonesia. Saya mendapatkannya di lembar-lembar akhir. Angsa ini semacam metafora yang menyindir manusia.
Angsa-angsa adalah makhluk yang mempunyai aturan, dilahirkan dengan prinsip dan sistem yang menolak semua keunggulan individual antara sesama spesies. (Halaman 158).
Namun, apesnya Ti Noël ketika menjelma dan mencoba berbaur dengan mereka, dirinya kena sosor, hahaha. Angsa-angsa itu angkuh dan banyak tingkah. Mereka layaknya kaum ningrat yang dengan ketat menolak angsa mana pun yang berasal dari kelas yang berbeda.
Namun, berkat angsa pulalah, sang tokoh utama mampu merenungi segala hal yang telah dia lalui sepanjang hidupnya yang oleh Alejo Carpenter tulis dalam narasi:
Seorang manusia tidak pernah tahu demi siapa dia menderita dan berharap. Dia menderita dan berharap dan bekerja keras untuk orang-orang yang tidak akan pernah dikenalnya, dan yang, sebaliknya, akan menderita dan berharap dan bekerja keras demi orang lain yang juga tidak akan bahagia, demi orang yang senantiasa mencari kebahagiaan melebihi apa yang diberikan kepadanya. Namun, kemuliaan manusia terletak pada hasrat untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya, untuk menuntaskan tugas-tugas yang diembankan kepada dirinya. (Halaman 160)
Diksi dalam buku ini termasuk sederhana dan mudah dipahami. Ada beberapa istilah dalam bahasa asing yang diberi penjelasan pada catatan kaki. Sayangnya, ada kalimat-kalimat yang menggunakan bahasa latin (atau Prancis?) yang tidak diterjemahkan. Selain itu, buku ini juga menggunakan kalimat-kalimat bertingkat yang cukup panjang dalam satu paragraf, bisa jadi bagi sebagian besar pembaca kurang menikmati karena kelelahan, tetapi bagi sebagian yang lain tidak mempersoalkan panjangnya kalimat. Satu lagi, jangan berharap buku ini memiliki akhir yang menyenangkan, sebab penulis mengisahkan para karakternya berakhir malang semuanya. Sungguh, tidak ada satu pun. Saya sampai dongkol karenanya, hahaha.
The Kingdom of This World, sebuah kisah yang dituturkan oleh seorang budak yang pada akhirnya terbebaskan saat kemelut revolusi, tetapi terjebak kembali dalam lingkaran setan perbudakan.
•••
Kutipannya:
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap orang Negro merupakan sasaran pelampiasan. Negro adalah padanan untuk keras kepala, pembangkang, penjahat. Karena alasan-alasan itulah budak-budak Negro dihargai sangat murah di pasaran. (Halaman 18-19).
Haruskah aku selamanya membersihkan tong? Haruskah aku selamanya memakan rebung? Seolah terenggut dari kehidupan, diadu domba, saling berkelahi, menyanyi pilu, putus asa, kaum yang ditawan untuk membangun piramida-piramida, menara-menara, benteng-benteng setinggi langit. (Ti Noël, halaman 38)
Tuhan orang-orang kulit putih memerintah secara sewenang-wenang. Dewa-dewa kita menuntut kita untuk membalas dendam. Mereka akan menjaga dan membantu kita. Hancurkan citra Tuhan orang-orang kulit putih yang senantiasa haus akan air mata kita; mari dengarkan suara kebebasan yang menderap-derap dalam diri kita. (Bouckman, halaman 52)
Setiap pembangkangan dibungkam dengan dengan darah dan kematian (Halaman 102)
Di sini orang-orang menanggung hinaan yang tak kepalang akibat dipukul sesama Negro, sama-sama berbibir tebal, sama-sama memiliki kepala berkutu, sama-sama berhidung pesek; sama-sama dilahirkan nista; dan barangkali juga sama-sama diperjualbelikan (Halaman 102)
Menjadi angsa tidak serta-merta menunjukkan adanya kesetaraan di antara angsa-angsa. (Halaman 159)

0 Komentar