Di Kaki Bukit Cibalak: Menguliti Indonesia Era 1970-an

 


Di Kaki Bukit Cibalak, secara garis besar menceritakan kehidupan masyarakat Desa Tanggir sekitar tahun 1970-an dengan persoalannya yang kompleks.

•••

Identitas buku:

Judul: Di Kaki Bukit Cibalak

Penulis: Ahmad Tohari

Penerbit: GPU

Tahun: cetakan ketujuh, 2022

Jumlah: 176 halaman

ISBN: 9786020305134

Kategori: fiksi

•••

⭐⭐⭐⭐/5


Blurbnya:

Perubahan yang mendasar mulai merambah Desa Tanggir pada tahun 1970-an. Bunyi orang menumbuk padi hilang, digantikan bunyi mesin kilang padi. Kerbau dan sapi pun dijual karena tenaganya sudah digantikan traktor. Sementara, di desa yang sedang berubah itu muncul kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelamatkan desanya dari kecurangan kepala desa yang baru malah tersingkir ke Yogya. Di kota pelajar itu Pambudi bertemu teman lama yang memintanya meneruskan belajar sambil bekerja di sebuah toko.


Melalui persuratkabaran, Pambudi melanjutkan perlawanannya terhadap Kepala Desa Tanggir yang curang, dan berhasil. Tetapi pemuda Tanggir itu kehilangan gadis sedesa yang dicintainya. Dan Pambudi mendapat ganti, anak pemilik toko tempatnya bekerja, meski harus mengalami pergulatan batin yang meletihkan.


•••


Resensinya:

Saya senang usai membaca novela yang satu ini. Tidak tebal, tipis malah: 170 halaman, bisa dinikmati dalam sekali duduk. Lebih lagi khas Ahmad Tohari yang menyajikan narasi sederhana, meski—seperti biasanya—ada perpaduan dengan bahasa lokal kedaerahan yang mewarnai sepanjang cerita.


Apa yang membuat saya senang membaca buku ini? Ceritanya. Buku setipis ini muatannya tidak seringan itu, Ges. Ada beberapa isu-isu sosial yang saya temukan sepanjang saya membaca kisah Pambudi. Memang tema utama Di Kaki Bukit Cibalak perihal politik dan korupsi, antara Pambudi kontra dengan Pak Lurah Dirga lebih menonjol, tetapi subtema yang bertebaran di novela ini juga patut diperhitungkan dan menjadi perhatian.


Perkenankan saya untuk memulainya.


Di Kaki Bukit Cibalak, secara garis besar menceritakan kehidupan masyarakat Desa Tanggir sekitar tahun 1970-an dengan persoalannya yang kompleks. Pada lembar-lembar awal, pembaca akan mendapati informasi geografis pesona Bukit Cibalak yang memudar, menjadi korban kemajuan zaman dan pembangunan infrastruktur; kultur sosial masyarakat desa yang perlahan bergeser menjadi individualis dan konsumtif; meluas menjadi intrik politik sebuah proses pemilihan kepala desa, dengan tetek bengek upaya meraup suara sehingga calon pemimpin baik tidak terjamin dapat terpilih; berpadu dengan kentalnya mitologi mistik yang konon katanya ada pertanda-pertanda istimewa seseorang berhasil menduduki suatu jabatan.


Pemilihan usai, kisah pun dimulai. Efek dari peradaban yang terus bergerak tidak serta merta membawa warganya. Kemajuan di sejumlah sektor yang dinanti-nantikan banyak masyarakat rupa-rupanya berputar pada fasilitas semata tanpa ada pemerataan ekonomi maupun tingkat pendidikan. Praktik KKN pada level desa menjadikan tindakan yang menolak bekerja sama untuk mendulang untung sebagai hal yang salah, tercela, aneh, wagu sehingga menciptakan fitnah untuk membuang kerikil bagi desanya.


Sebuah fenomena sosial yang terasa dekat, bukan? Memilukan, tetapi hal semacam itu kemungkinan masih eksis hingga sekarang. Entah di belahan bumi mana. Apalagi bacanya sambil disandingkan dengan berita-berita perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, pasti gemes rasanya. Itu kalau saya, lho.


Oke, lanjut, ya.


Makin jauh pembaca mengikuti Pambudi, penulis pun makin menyuguhkan isu sosial lainnya (yang terjadi kala itu, ya. Waktu itu, tahun 1970-an): mencurangi latar pendidikan demi pekerjaan; tradisi/kebiasaan mengistimewakan jabatan sebagai simbol tertentu untuk bisa bebas mengawini perempuan mana pun; subordinasi perempuan menjadikan tidak berdaya, tidak bisa memilih untuk menolak saat dipoligami; asusila berupa pencabulan yang dilakukan seorang dukun; kejahatan dengan menggunakan guna-guna/mistis; hingga pernikahan di bawah umur. Yang istimewa dalam pandangan saya, selain gigihnya Pambudi yang semula kecil hati karena tersingkir kemudian bisa bangkit dan membalas dendam melalui karya yang menginspirasi, Ahmad Tohari juga menuliskan betapa ampuhnya koran pada masa pra-media sosial, serta mengisahkan pembauran berujung romansa unik Pambudi-Mulyani, Jawa-Tionghoa. Nah, yang terakhir ini menarik lho. Silakan baca-baca sendiri literatur perihal polemik etnis Cina pada era Orde Baru, ya, supaya bisa memahami maksud kalimat saya.


Sungguh—sekali lagi—buku yang benar-benar tipis secara jumlah halaman, tetapi tidak ringan dalam arti kandungan cerita. Meski saya tersentuh dan gemas dengan kisah cinta Pambudi-Mulyani, tetapi geregetan di akhir buku, semacam kurang panjang dan belum menggigit. Selain itu, saya merasa cerita novel ini masih bisa lebih dalam lagi. Tidak begitu mengejutkan sebab semua jalan cerita bisa ditebak dan tahu-tahu sudah sampai di akhir halaman.


Di Kaki Bukit Cibalak, sebuah novel yang mampu merekam kondisi masyarakat pada saat itu dengan baik, mengangkat nilai luhur kemanusiaan dan kejujuran, tetap relevan dan menggema hingga saat ini, terutama bagi Anda yang sempat kecil hati melawan birokrasi maupun yang pernah ditinggal rabi.


Adakah rekomendasi judul lain karya Ahmad Tohari?


•••


Kutipannya:

Wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah menjadikan kita luhur pada akhirnya. (Ayah Pambudi, halaman 93)


Mengapa harus malu kalau ia hanya menuruti kejujuran perasaannya. (Perawat, halaman 51)


Pam, kukira banyak anak muda seperti kita ini yang memiliki semangat Don Quichotte, meskipun tarafnya berbeda-beda. Terkadang kita ingin mengenakan baju besi, memanggul tombak dan menantang musuh. Tetapi ingat! hanya Arjuna kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa. Hanya si kecil Daud yang bisa menang atas Goliath. Semuanya cerita lama. Bukti kebenaran kataku itu adalah apa yang telah kualami sendiri. Aku percaya bulat, kau punya itikad yang bening di desamu sendiri. Kau menginginkan kemajuan yang sehat, kau memikirkan perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Kau hendak membawa suara dan nilai-nilai pembaharuan ke tengah kalangan orang-orang yang memiliki pengetahuan dasar tentang pembangunan pun belum. Akibatnya kau sendiri yang jatuh bukan? (Topo, halaman 99-100)


Maaf, Ayah, yang namanya kebijaksanaan selalu muncul dari kewenangan. Patokannya sangat subjektif dan baur. Kebijaksanaan tidak akan menyelesaikan masalah ini dengan tuntas. Ia hanya akan menggeser masalah itu ke samping, bukan menyelesaikannya sama sekali. (Bambang Sumbodo, halaman 155)





Posting Komentar

0 Komentar