Identitas buku:
Judul: Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
Penulis: A. Mustafa
Penerbit: Shira Media
Tahun: 2019
Jumlah: 358 halaman
ISBN: 9786025868801
Kategori: fiksi (Pemenang II Sayembara Novel DKJ 2018)
•••
⭐: 4.8/5
Blurbnya:
Novel Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman menuturkan kisah Rara Wilis dan Suko Djatmoko. Alurnya maju dan mundur, mencakup masa lebih dari tiga dekade, menembus dan mengaburkan batas antara realitas serta mimpi, bermain-main dalam kabar gaib serta penafsirannya, melompat-lompat di antara bahasan seks dan teologi, iman dan skeptisme, pelacur dan Tuhan, hikayat babi dan epos Mahabharata.
Lebih dari itu, novel ini diangkat dari kisah nyata. Maka benarlah, sesungguhnya kehidupan manusia sering kali lebih ganjil dari cerita fiksi mana pun.
•••
Garis besarnya:
“Dan, segeralah pulang, Le ….”
“Besok-besok saya akan ke Karangtempel, kok”
“Bukan itu. Pulanglah ke kodratmu yang dulu, Le ….”
Buku ini mencakup keseluruhan kisah awal mula perjalanan kehidupan Rara Wilis yang menemukan titik baliknya menjadi Suko Djatmoko. Terbagi dalam tiga cerita yang berkelindan yakni: Rara Wilis, atau akrab disapa Mbok Wilis, si ratu waria yang berpengaruh di Semarang, tepatnya kawasan Simpang Lima. Selain melacur, dia juga menjabat sebagai Ketua PAWATRI yang menaungi hak-hak LGBT, menjaga keharmonisan para waria, keteraturan lokasi mangkal dan tarif layanan; dan keamanan dari preman maupun Pemerintah Kota Semarang (Dinas Sosial dan Satpol PP). Cerita jungkir balik Mbok Wilis pun bergulir sejak dirinya bertemu dengan Haris, laki-laki ambivalensi yang peduli dan membutuhkan Rara Wilis sebagai pemuas hasrat seksual, sekaligus mengintimidasi, menindas, bahkan mencelakainya.
Kisah kedua datang dari Pak Suko atau dipanggil Pak Wo, seorang penjual jamu dan Ahmadi taat yang bertablig mengaitkan ajaran-ajaran Islam dengan kisah pewayangan Mahabarata. Kehidupan Pak Wo bersisian dengan stigma masyarakat terhadap Ahmadiyah sebagai ajaran yang bertentangan dengan Islam, sesat, meresahkan, dan kafir yang dilaknat Tuhan.
Sementara kisah terakhir yakni seekor Babi Lumpur yang telah menemukan surga berlumpurnya, tetapi suatu hari sang ular menelannya bulat-bulat, memangsanya sebagai santapan. Sebuah keberuntungan membawa Babi Lumpur bisa terbebas dari perut sang ular, keluar hidup-hidup meski tubuh penuh luka. Sayang, dirinya menjadi objek kelezatan babi-babi yang ada di surga berlumpur tersebut, padahal sebelumnya mereka memandang sang Babi Lumpur adalah sosok pahlawan yang mampu terbebas dari buasnya hukum rantai makanan.
•••
Resensinya:
Saya melihat novel ini ketika ada pameran buku di Yogyakarta. Saya memutuskan membeli buku ini selain faktor Pemenang Lomba DKJ, juga belum menemukan benang merah antara judul-kover-blurb, jadi hanya menerka-nerka arah cerita, bertanya-tanya apakah dua nama yang tertulis dalam blurb adalah dua sosok dalam kover, mengapa pemilihan kovernya seperti itu, dan kok judulnya kayak enggak nyambung begitu.
Pada saat awal membacanya, penulis menghadirkan tiga tokoh yang—lagi-lagi—saya belum menemukan keterkaitannya: Mbok Wilis, seorang pelacur waria; Pak Wo yang menjadi pengikut Ahmadiyah; dan Babi Lumpur yang menemukan surga kubangan lumpur sehingga mau makan-minum-berak-leyeh-leyeh ya di situ-situ saja.
Setelah rampung menamatkannya, saya baru menyadari hal-hal yang membuat saya penasaran sebelumnya, memahami mengapa pemilihan kover seperti itu, dan maksud ada babi dalam cerita. Dalam pandangan saya, ini buku yang indah ….
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman merupakan novel yang berangkat dari kisah nyata kehidupan Suko Djatmoko yang dipadupadankan dengan fiksi. Secara garis besar, novel ini menyenggol isu kemanusiaan yang masih tabu meski bukan barang baru yang terangkum dalam tiga hal: waria, homoseksual dan pelacuran, serta agama (Ahmadiyah).
Bisa dikatakan bahwa penulis cukup berani mengangkat tema yang memang benar sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, yang tidak mungkin begitu saja terlupakan, serta sensitif. Namun, patut saya sampaikan pula jika A. Mustafa piawai menuliskan ceritanya, yang menggunakan alur maju mundur; tanpa bab; bergantian antara satu tokoh dengan tokoh yang lain sehingga kisahnya terajut apik dan halus.
Dalam novel ini, pembaca akan menemukan ketidakadilan sosial yang dilakukan para liyan terhadap kaum minoritas—waria dan Ahmadiyah—seperti diskriminasi berupa stereotipe (citra buruk, pelacuran, pezina, pendosa, tuduhan sesat, tidak termasuk golongan yang benar); dominasi struktur sosial (ancaman, pelaporan, penindasan dari pemilik otoritas sehingga menjadi tidak berdaya, pasrah), dominasi keabsahan terhadap identitas kelamin (hanya ada laki-laki dan perempuan, orientasi seksualnya hetero bukan homo) dan identitas agama (umat Muslim secara umum meyakini Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Boleh dicari tentang serba-serbi Ahmadiyah, ya); ketimpangan relasi/subordinasi (perlakuan sosial yang tidak adil di masyarakat, dibedakan dalam bermasyarakat, kekerasan dalam pacaran: fisik, verbal, seksual); sampai pelanggaran HAM (tidak ada ruang kebebasan melakukan pilihan hidup, berkeyakinan, berpendapat).
Tidak cukup sampai di situ, buku ini memberikan garis pembatas yang jelas antara hitam dan putih, ruang gerak/kebebasan individu di ranah sosial—khususnya yang mereka yang terpinggirkan—itu terbatas. Masyarakat dalam buku ini cenderung kaku, konservatif. Perihal ajaran agama, mereka terlalu saklek dengan teologi ketuhanan yang diamini, menganggap keyakinan sendiri paling benar dan di luar itu adalah salah. Enteng melabeli ajaran lain dengan sesat dan kafir. Kemudian tentang pilihan hidup, masyarakat dengan mudah menghakimi kehidupan yang dijalani seseorang berlandaskan pada jenis kelamin dan orientasi seksual. Menyimpang dan tidak menyimpang.
Terlepas dari isi cerita buku, bukankah hingga saat ini kebanyakan masyarakat kita masih suka mengotak-ngotakkan sesuatu? Mencederai toleransi atas nama toleransi? Belum ramah terhadap perbedaan? Memburamkan keanekaragaman hanya karena keyakinan dan jalan hidup yang dipilih seseorang?
Yang istimewa sekaligus keunikan dari buku ini dalam pandangan saya yakni penafsiran-penafsiran ajaran agama melalui kisah Mahabarata (perang Pandawa-Kurawa, Pandawa sebagai representasi rukun Islam, hingga perang akhir zaman), kehidupan seksualitas para waria (suka-dukanya termasuk saat lari dikejar Satpol PP), sampai metafora Babi Lumpur untuk manusia. Jangan terkejut jika Anda memiliki satu persepsi yang sama dengan saya bahwa kehidupan manusia (beserta pilihan-pilihannya) disamakan dengan cara hidup babi.
Melalui novel ini, penulis akan mengajak pembaca untuk mengenal dan memahami sang tokoh mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, hingga tua yang memilih jalan hidup tidak biasa, bukan yang lempeng-lempeng saja, melainkan menjadi minoritas dalam bermasyarakat. Ada alasan mengapa dia menyimpang, ada sebab pula dirinya memutuskan kembali ke jalan yang benar setelah melakukan perjuangan panjang dan mengalami pergolakan hidup yang tidak mudah sampai pada akhirnya mampu menuju ke arah perbaikan diri. Berhasil meraih kedamaian dengan keyakinan yang dijalaninya.
Menjadi sebuah perhatian kita bersama selaku orang dewasa, khususnya yang telah menjadi orang tua, bahwa faktor keluarga dan lingkungan lebih banyak menjadi penyebab penyimpangan sosial Rara Wilis: kerepotan orang tua yang memiliki banyak anak, memercayakan kepada pengasuh yang rupanya perangainya buruk sehingga tabiat itu menurun kepada Mbok Wilis (paket lengkap: judi, mabuk, bicara kasar), sampai perlunya kehati-hatian dalam berbicara (ucapan adalah doa). Namun, ada ketulusan dan cinta yang tidak pernah putus dari orang tua Rara Wilis kepada si anak. Mereka tidak pernah berkurang kasih sayangnya, senantiasa bersabar (dari ejekan tetangga dan menunggu Mbok Wilis kembali pada fitrahnya sebagai laki-laki), dan masih menerima serta memaafkan kesalahan anaknya. Ini menjadi penyejuk yang memberikan energi positif lagi penguat bagi seseorang sehingga mampu keluar dari kegelapan menuju cahaya.
Pada akhirnya, buku ini menyentil kita agar terus belajar untuk lebih menghargai dan menghormati apa pun pilihan dan keputusan orang lain dalam menjalani hidupnya. Jangan mudah menghakimi, merasa paling benar sampai-sampai menutup mata perihal keyakinan sebab itu merupakan hak personal dirinya dengan Tuhannya.
Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman, sebuah kisah nyata yang menghormati realita meski terdapat bumbu-bumbu fantasi dan surealis di sana-sini. Sebuah kisah menyegarkan yang mengingatkan sekaligus menyadarkan kita semua bahwa Tuhan menciptakan manusia itu dengan kedudukan yang sama meski dalam perjalanan kehidupannya memiliki banyak warna dan sebagai sesamanya, kita sebaiknya saling memahami.
•••
Kutipannya:
Pada dasarnya mereka adalah birokrat serta politikus, omongan mereka tidak benar-benar bisa dipegang; terkadang amanah, seringkali khianat. Para preman di jalanan—selama setoran lancar—malah jauh lebih bermartabat ketimbang mereka yang duduk di kursi perkantoran-perkantoran pemerintahan. (Halaman 47)
Bukankah setiap makhluk hidup di dunia mendambakan surga, walau secuil saja, sehingga rela mengembara ke mana pun demi menemukannya? (Halaman 93)
Kamu tahu istilah mayok bakal mondok, toh? Makanya, jangan suka menghina orang kalau tidak ingin dihinakan. (Mbok Wilis, halaman 98)
Manusia … ragam macamnya, banyak ceritanya. (Halaman 116)
… sebab menjadi waria bukan berarti mesti jauh dari Tuhan. (Mbok Wilis, halaman 199)
Dosa itu ibarat gelap yang menghalangi kita untuk mendapati cahaya kebenaran serta kebajikan. Dan, kita sebagai manusia sering kali berbuat aniaya kepada diri sendiri sehingga menutup mata kita dari cahaya tersebut. (Haris, halaman 204)
Pokoknya aku minta kamu jangan seperti orang –orang di luar sana, yang baru sedikit menerima ilmu agama sudah mabuk sehingga menganggap dirinya paling benar dan menganggap orang lain di luarnya adalah salah. (Mety, halaman 299)
Justru rumah Allah didirikan sebagai tempat membersihkan kekotoran-kekotoran hati. Kalau masjid cuma buat orang-orang yang suci, barangkali cuma malaikat yang boleh masuk ke dalamnya. (Maulana Mirajuddin, halaman 311)
Kita, kan, orang yang berbeda, kedamaian hati kita juga pasti beda-beda. (Mety, halaman 332)

0 Komentar