•••
Identitas buku:
Judul: Mustika Zakar Celeng
Penulis: Adia Puja
Penerbit: GPU
Tahun: 2023
Jumlah: 223 halaman
ISBN: 9786020670737
Kategori: Fiksi, novel, naskah yang menarik perhatian juri pada Sayembara DKJ 2021, mitos, urban legend, penguat stamina
•••
Blurbnya:
"Tidak bisakah kau bertahan sedikit lebih lama, Kang? Setidaknya sekali dalam hidup, aku ingin merasa dipuaskan.” Pengakuan mencengangkan Nurlela ini membuat Tobor hancur. Pernikahan berusia sebelas tahun mereka berada di tubir perpisahan oleh perkara hubungan badan. Nurlela didera ragam penyesalan, sedangkan Tobor mencoba beragam cara agar urusan ranjang ini terselesaikan. Mulai dari yang medis, hingga mistis. Termasuk mencari sosok mitos Ratu Siluman Celeng dan meminta kesaktikan dari mustika berbentuk zakar.
“Mustika Zakar Celeng sepertinya hendak melakukan rekonsiliasi antara realitas sosial dengan mitos, komik dengan tragedi, realisme dengan surealisme. Isu seksual dikembangkan menjadi isu sosial, lalu menjadi isu politik yang menggambarkan kesia-siaan tokohnya yang mencari kekuasaan tapi berakhir pada ketidakberdayaan.” JURI SAYEMBARA NOVEL DEWAN KESENIAN JAKARTA 2021
•••
Garis besarnya:
Lebih dari sepuluh tahun lamanya, Tobor dan Nurlela mengarungi bahtera rumah tangga, dan selama itu pula Nurlela memendam getir akibat lemahnya Tobor dalam bercinta. Suatu malam, usai menuntaskan hajat bersenggama, perempuan itu meluapkan ketidakpuasan kepada Tobor perihal ketidakperkasaannya. Pengakuan tersebut membuat sang suami malu bukan kepalang.
Kenyataan pahit tersebut membuat Tobor mencari jalan keluar agar bisa bertahan lebih lama saat bercinta, demi memuaskan istrinya. Tatkala menyewa seorang pelacur tua yang lama tidak diminati untuk latihan pun sia-sia, Tobor mendengar perihal mustika zakar celeng yang dimiliki Ratu Siluman Celeng yang mendiami sebuah hutan lebat dan tidak tersentuh manusia.
•••
Resensinya:
Perkenalan pertama saya dengan Adia Puja dan langsung jatuh cinta dengan novelnya (saya jadi berkeinginan buat baca karyanya yang lain).
Mustika Zakar Celeng, novel apik yang membahas sisi mendasar eksistensi perempuan yang–mungkin–luput dari perhatian dan kerap dikesampingkan dalam ranah hubungan seksual suami-istri. Berawal dari perkara domestik, Adia Puja turut menyisipkan persoalan kelas sosial dan melempemnya maskulinitas serta mencampurkannya dengan sentuhan folklor (mitos).
Dalam adat ketimuran yang mengakrabi patriarki, perempuan kerap ditempatkan sebagai makhluk pasif yang hanya manut, nurut, menerima, dan tidak diperbolehkan melayangkan protes terhadap suami—termasuk urusan pemenuhan seksual—dengan dogma agama dan norma kesantunan sebagai pagarnya. Hal tersebut tertuang dalam buku ini. Adia Puja tidak luput menguraikan istri-istri yang kudu patuh terhadap perintah suami hingga rela mendedikasikan dirinya menjadi pihak yang—bisa jadi–dirugikan dalam berumah tangga.
Namun, pada novel ini, Nurlela berhasil melepas stigma tersebut.
Sang tokoh utama perempuan ini menggugat konstruksi sosial yang masih langgeng dan subur di pedesaan tempat tinggalnya. Sebut saja mempertanyakan perempuan yang harus menjaga keperawanan, tetapi lelaki boleh tidak; mengapa darah pada seprai dalam percintaan perdana setelah pernikahan menjadi sesuatu yang kudu ada; merasa keheranan istri bersikap pasrah dan diam dan tidak boleh menolak ajakan suami, kecuali saat datang bulan; dan gongnya yakni tatkala dirinya memperjuangkan kepuasan seksualnya. Nurlela menjadi perempuan tegas dan sadar akan kepentingan seksualitasnya, ingin dipuaskan.
Bagaimanapun juga, hubungan seksualitas—yang menjadi tema besar sekaligus konflik utama dalam novel ini—memang menjadi salah satu tali pengikat pernikahan. Kemesraan dan kehangatan dan kelanggengan perkawinan bisa berubah menjadi masalah serius dan lebih rumit jika seksualitas itu timpang atau berat sebelah atau tidak hadir dalam keseharian. Bukankah pernikahan merupakan perjalanan dua pihak?
Meski Nurlela sadar dengan keinginannya, sangat disayangkan Adia Puja masih memberikan garis besar pembatasan ruang gerak laki-laki dan perempuan. Tobor bekerja di luar, sedangkan Nurlela masih berkutat pada urusan dapur-sumur-kasur alias di rumah saja.
Selain urusan ranjang, novel ini menyindir melempemnya maskulinitas laki-laki. Konstruksi sosial atas citra laki-laki ideal hadir pada halaman-halamannya. Atribut-atribut seperti penampilan fisik (ketampanan), fungsi seksualitas (ketangguhan), emosi, rasional, keberanian, dan lainnya dianggap penting dan melekat pada kebanyakan laki-laki. Sialnya, Tobor tidak memiliki salah satunya. Dia gagal dalam perkara daya tahan kejantanan dan hal tersebut mencoreng harga dirinya selaku laki-laki.
Lebih dalam, Mustika Zakar Celeng merefleksikan mitos yang masih berkembang, dipertahankan, dan dipegang oleh masyarakat rural, yakni kepercayaan pada ilmu kanuragan, siluman celeng yang memiliki tujuh belas buah zakar yang penuh daya kekuatan—tentu dengan timbal balik sebagai bagian dari kaum celeng hingga akhir zaman jika manusia penggunanya meninggal. Mengelaborasi tradisi dan modernitas yang membentuk realitas kontemporer menarik tatkala alih-alih memperoleh kekayaan atau hidup abadi, Tobor memutuskan bersekutu dengan makhluk gaib demi kemampuannya bercinta, hahaha.
Secara keseluruhan, dalam pandangan saya, buku ini menarik sebab tema seksualitas berpadu dengan isu sosial dan mistis dengan sedikit bumbu politik-ekonomi saat pembangunan infrastruktur di pemerintahan Orde Baru. Melalui buku ini, pembaca bisa menarik pembelajaran di dalamnya, salah satunya komunikasi dan keterbukaan pasangan suami-istri atas banyak hal kehidupan—termasuk perkara selangkangan dan orgasme. Jika mau menganggap buku ini layaknya sinetron azab versi cetak, bisa juga kok. Hukum tabur-tuai berlaku dalam Muztika Zakar Celeng. Tidak hanya Tobor, melainkan Nurlela pun mengalami.
Adia Puja mengemas novel ini menggunakan gaya bercerita yang ringan dan mengalir sehingga mudah untuk diikuti dan dinikmati. Tiap-tiap tokoh penting yang mendukung pergerakan cerita memiliki latar kisahnya masing-masing dan terhubung dengan baik. Meskipun temanya vulgar, tetapi pilihan katanya tidak menunjukkan demikian. Kalimat-kalimatnya cenderung santun.
Sayangnya, saya merasakan jika paruh pertama novel ini bergerak lambat, tetapi tidak pada paruh keduanya yang cenderung terburu-buru, temponya menjadi cepat dan tidak bertele-tele. Beberapa adegan zoofilia (hubungan seksual dengan binatang) berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pembacanya. Novel ini berlabel 21+ sebab tidak hanya memuat unsur dewasa, melainkan juga ada adegan kekerasan, maka patuhilah ketentuan tersebut.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Bagaimanapun, urusan kejantanan bagi seorang lelaki adalah persoalan harga diri. (Hal. 3)
Kebohongan tidak akan menyelesaikan perkara apa pun. (Hal. 4)
Di dekat orang terkasih memang mudah membuat jantung dipenuhi bahagia. (Hal. 10)
Apakah kemaluan lelaki terbuat dari baja sehingga tidak mudah dihancurkan seperti halnya porselen? Mengapa juga setitik darah pada malam pertama menjadi demikian rumit dan penting? (Hal. 24)
Mengapa perempuan harus sedemikian rupa menjaga keperawanannya, sementara lelaki boleh mengobral keperjakaannya? (Hal. 25)
Seorang perempuan tidak memiliki banyak pilihan. Selain menunggu, menunggu, dan menunggu. (Hal. 25)
Jika istri tidak boleh meminta atau menolak, apa bedanya dengan jongos? (Hal. 28)
Ternyata menikah bukan boleh-tidak boleh berhubungan badan semata. Sejak gadis aku diminta menjaga keperawanan. Ketika jadi istri, apa ya harus dibatasi juga? Ini tidak boleh, itu pamali, yang begitu tidak sopan dan dosa. (Hal. 28)
Perempuan yang sudah usang kerap dianggap tak ubahnya seonggok rongsok yang tak lagi berharga. Ada sejuta pantangan bagi seorang itu. Ada sejuta pamali bagi seorang perempuan. (Hal. 29)
Ya diam saja. Pura-pura menikmati. Pokoknya jangan sampai suamimu kecewa. Ingat, lelaki tidak suka dianggap remeh, terutama untuk urusan kejantanan! Di matamu, mereka harus selalu gagah dan perkasa. Jika istrinya tidak bisa menghargainya, lelaki bisa pergi dan mencari perempuan yang lebih bisa menghargainya, lho! Menjaga harga diri suami termasuk tugas seorang istri! (Hal. 29)
Menuntut tidak boleh. Menolak tidak boleh. Protes tidak boleh. Berontak pun bisa jadi tidak boleh. Jika dirinya tidak terpuaskan, lelaki bisa mengancam akan lari dengan perempuan lain. Keegoisan macam apa? Di mana posisi seorang perempuan di dalam rumah tangga? Jika menginginkan istri yang bebas diinjak tanpa boleh melawan, sebaiknya para lelaki menikah saja dengan sandal jepit. Dan yang lebih mengherankan, para perempuan ini bisa menerima begitu saja keadaan tersebut. Apakah mereka betul-betul bahagia? Apakah mereka terpuaskan secara lahir dan batin? Atau mereka hanya sedang memainkan peran sebagai “istri yang baik”? (Hal. 29-30)
Percintaan merupakan hubungan antar-manusia. Jika ia menerima sesuatu, maka ia harus memberi sesuatu. (Hal. 54)
Melepas tanah dan melepas rumah adalah bertaruh dengan ketidakpastian. (Hal. 66)
Tamu-tamu Rosalinda memang gemar memuntahkan mani di dalam kantung rahim pelacur. Mau berapa kali Rosalinda menegur untuk mengenakan kondom, selalu ada saja alasan. Alasan lupa paling sering dia dapatkan. Mereka hanya ingin memperlakukan para perempuan bayaran semaunya. Mereka merasa berhak penuh atas perempuan yang telah mereka beli. Masa bodoh dengan nasib para pelacur yang tiba-tiba mengandung anak atau tertular raja singa. Perempuan sewaan dan perempuan sah di rumah, bagi para lelaki sama saja, sekadar hak milik yang boleh diapakan saja. (Hal 80)
Ada banyak yang lebih baik tidak disampaikan. (Hal. 87)
Bukankah bersekolah tinggi-tinggi pun ujung-jungnya digunakan untuk mencari uang? (Hal. 97)
Jangan seperti pesepak bola yang tidak bisa bermain tanpa bola! Seorang penjahit tidak boleh bergantung pada mesin! Saat kamu hidup sendiri, kamu tidak akan merasa kesulitan. Jangan bergantung pada apa pun selain pada dirimu sendiri. (Hal. 101)
Menjadi penjahit itu bukan perkara sepele. Seorang penjahit harus mengukur setiap orang sebelum membuatkannya baju. Tidak boleh merasa paling tahu, meski sudah pandai. Begitu pula dalam hidup. Kita tidak boleh asal menilai. Lihat semua persoalan secara baik-baik, sebelum menilai benar atau salah. Kenali dahulu orang lain, sebelum kau nilai baik atau buruk. Baju yang kamu gunakan belum tentu cocok untuk orang lain. (Hal. 101)
Tidak ada satu pun makhluk yang tidak memiliki maksud. Segala yang hidup pasti bermaksud sesuatu. (Hal. 121)
Bukankah kehidupan adalah kematian itu sendiri? Dan kematian sesungguhnya adalah kehidupan yang lebih nyata dibanding embusan napasmu sendiri. Apakah kamu pernah berpikir, Anak Muda, bahwa ketika dirimu mati, itu sesungguhnya kamu baru saja terbangun? (Hal. 122)
Semua yang pernah diciptakan Gusti Pangeran pasti bisa dengar, melihat, dan berbicara. Hanya saja kita terlalu jemawa untuk menyadari hal itu. Bukankah hujan sedang berbicara ketika menyentuh dedaunan dan rumput, dan angin-angin yang berbisik itu sedang mengajak bicara dengan caranya sendiri? Kamu pikir bebatuan tidak menyapa tanah yang menjadi pijakannya? Dan mata. Ya, mata. Semua memiliki mata. Ketika kamu diam-diam menghibur kemaluanmu, tiap-tiap jarimu melihat itu semua. Telapak tanganmu melihat. Matamu melihat. Semua dapat melihat. Tidak ada yang tidak melihat. Satu-satunya yang buta adalah manusia itu sendiri. (Hal. 123)
Kita tidak pernah tahu jika tidak mencobanya, benar? (Hal. 129)
Urusan selangkangan bisa menjadi momok nomor satu bagi keutuhan setiap perkawinan. Tidak sedikit perkawinan yang porak-poranda akibat urusan kelamin. Entah karena urusan ranjang yang tidak hangat, atau perselengan. Benda di antara paha ini bisa menjadi berkah sekaligus musibah yang mengerikan. (Hal. 131)
Kenang-kenangan merupakan masa lalu. Hal yang tidak mungkin diulanginya walau hanya satu detik. (Hal. 145)
Segala yang menenangkan bisa memangsa tanpa ampun. (Hal. 149)
Apa anjeun tidak sadar? Tidak bisa mati itu tidak selamanya enak! Seperti kehidupan, kematian merupakan anugerah bagi manusia. (Hal. 151)
Aku tidak sudi menjalani kehidupan pahit ini untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. (Hal. 151)
Manusia merupakan makhluk yang demikian lemah. Ia tidak bisa bernapas dalam air seperti ikan. Tidak bisa terbang seperti burung. Tidak memiliki kekuatan sedahsyat kuda atau gajah. Bahkan, dalam urusan menaklukkan pohon pun, manusia tidak sebanding dengan beruk. Manusia hanya hebat dalam urusan bersumbar, kalau manusia makhluk paling sempurna. Padahal, kelebihan manusia tidak lebih sekadar memiliki akal. Dan dengan perbedaan yang tipis itu, manusia merasa boleh berkuasa atas makhluk lainnya—yang mereka anggap lebih rendah derajatnya. (Hal. 158)
… dirinya berhak menentukan kebahagiaannya sendiri. Bukan hanya dirinya, tetapi semua perempuan. Mereka berhak bergerak dan menentukan sikap dengan tanpa terbelenggu oleh status pernikahan. (Hal. 166)
Teori-teori kebahagiaan tidak semudah memikirkannya. Segala hal yang melibatkan perasaan orang lain memang tidak pernah terasa mudah. Meski harus menempuh cara yang salah. (Hal. 166)

.webp)
0 Komentar