Amba

Romansa epik modern

•••


Identitas buku:

Judul: Amba

Penulis: Laksmi Pamuntjak

Penerbit: GPU

Tahun: Cetakan ke-2: 2012

Jumlah: 486 halaman

ISBN: 9789792288797

Kategori: Fiksi, novel, romansa, sejarah, kekerasan, seksual


•••


Blurbnya:

Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.


Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. “Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.” Tapi ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa Bhisma tak kembali. Dan mati.


•••


Garis besarnya:

Akibat berselisih dengan Mukaburung, istri sah Bhisma–laki-laki yang dicintai Amba, tetapi keberadaannya seolah hilang dalam pengasingan–yang membuatnya mengalami luka-luka dan berakhir di rumah sakit, Amba mengisahkan masa lalunya. Mulai dari masa kecilnya sebagai anak guru di Kadipura; ayah-ibu dan saudara kembarnya, Ambika dan Ambalika; meninggalkan kota kecilnya untuk kuliah di UGM jurusan sastra; berselingkuh dari tunangannya, Salwa; memacari Bhisma–dokter muda lulusan Universitas Karl Marx di Leipzig, Jerman Timur–hingga hamil di luar nikah; kehilangan Bhisma dalam satu kejadian 1965 di Yogyakarta–dan Bhisma dibuang ke Pulau Buru pada 1971 dan memutuskan tidak pulang dan hidup sebagai penyembuh yang kemudian dikenal sebagai “Resi dari Waeapo”; hingga menikah dengan Adalhard Eilers.


Setelah sang suami tutup usia, Amba menerima surel yang menyebutkan jika Bhisma telah meninggal di Pulau Buru. Maka, pergilah Amba ke Buru untuk memastikan hal tersebut ditemani seorang eks-tapol dan dibantu penduduk lokal. Di sana, dia bertemu Manalisa, seseorang penghuni asli pulau yang yang memiliki kesaktian dan memberikan surat-surat yang ditulis Bhisma untuknya.


•••


Resensinya:

Amba ini novel perkenalan pertama saya dengan Laksmi Pamuntjak. Sebelumnya tidak ada keinginan saya untuk mencari tahu atau membaca bukunya (TBR saya sudah menggunung). Namun, karena kesepakatan membahas judul tersebut dalam satu sesi live di Instagram, alhasil … saya mulai berburu Amba.


Tidak mudah bagi saya untuk menamatkan novel ini. Selain jumlah halaman yang nyaris lima ratus, gaya bercerita Laksmi membuat saya bersabar banyak-banyak.


Amba, novel yang memadukan romansa anak muda dengan mitologi Mahabharata, kisruh sosial politik di Yogyakarta pada tahun 1965, dan kisah para tahanan di kamp pengasingan Indonesia.


Buku ini memiliki kedalaman lapisan, tidak sekadar mencakup segala hal mengenai proses kehidupan Amba (keseharian, tindakan, ucapan, pertentangan, percintaan), melainkan juga upaya membangun identitas perempuan, mengungkapkan kekayaan budaya Indonesia, serta kemelut sejarah politik-militer-hingga-agama.


Sepanjang membuka lembar-lembar Amba, pembaca bakal mendapati semangat Amba dalam menentang nasib pada nama yang diberikan kepadanya, lebih ingin menuliskan sendiri takdirnya. Pemikiran tokoh utama kritis terhadap sistem patriarki maupun konvensi tradisi yang membelenggunya. Buku ini mampu menggugah kesadaran pembaca perempuan untuk mendefinisikan ulang citra kecantikan yang tidak melulu dari penampilan fisik, melainkan dari intelektual. Cantik yang bisa memikat orang dengan pengetahuan.


Berikutnya Amba menyentil pembatasan ruang gerak perempuan. Tokoh Amba dalam novel selalu ingin berkembang. Dia tidak ingin cukup dengan pendidikan yang begitu saja, menikah di usia muda, menjadi istri penurut dan ibu yang mengurusi anak-anaknya, bahkan menghabiskan waktu di dapur-sumur-kasur sebagai ruang kerjanya. Amba menginginkan kebebasan memperoleh pendidikan tinggi, tidak menggantungkan hidup hanya pada laki-laki, ingin terus belajar dan meraih prestasi, serta berkeinginan memilih jodohnya sendiri.


Tidak cukup mengacu pada epik Mahabharata, eksistensi mistisisme terjalin mulus selama cerita bergulir, bahkan masih berkembang dalam kepercayaan masyarakat hingga saat ini dalam bentuk praktik-praktik magis. Sebut saja perdukunan, pengkultusan seseorang yang memiliki kesaktian (dalam novel: Manalisa) atau hari tertentu (dalam novel: Kamis) atau tempat tertentu, ritual upacara di kuburan (dalam novel: kuburan Bhisma), sampai kepercayaan terhadap cerita raja-raja Kediri.


Lebih jauh, Laksmi mengemas latar Amba sewaktu transisi pergantian pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru dengan puncak insiden tahun 1965 di Yogyakarta. Para tokoh mengalami masa-masa penuh pertentangan, ketakutan, ketidakpastian, penghakiman, dan kekerasan antarkelompok. 


Laksmi apik menggambarkan situasi kala itu: masyarakat yang terpecah, informasi pembantaian massal, penyerbuan Universitas Res Publica, penangkapan ratusan orang yang dianggap musuh/komunis, pembuangan ke Pulau Buru, dan penyiksaan para tapol. Sejumlah fakta historis (seperti pembunuhan para jenderal, tertembaknya Ade Irma Suryani, keberadaan Tefaat Pulau Buru) turut tercantum saat membicarakan rentetan kejadian tragedi 1965.


Amba berhasil menyuarakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak pernah diakui dalam sejarah versi pemerintah, khususnya yang menimpa mereka, para korban, yang disalahpahami terlibat PKI. Mereka yang diasingkan ke Pulau Buru. Mereka, tahanan politik, yang mengalami pengurungan, pemukulan, dan kerja paksa. Mereka yang menjadikan Buru sebagai tanah baru, hidup baru, sekalipun harus berhadapan dengan represi kekuasaan para komandan. Mereka yang mewarisi luka kekejian masa lalu. Semuanya, tertulis dalam surat-surat Bhisma kepada Amba. 


Setidaknya, novel ini di satu sisi mengungkapkan kepada kita bahwa Indonesia pernah berada pada masa-masa kelam yang menorehkan luka sejarah yang tidak bisa dilupakan begitu saja, dan di sisi lain mengingatkan agar peristiwa serupa (baik kejadian 1965 maupun konflik agama di Ambon 1999) sedapat mungkin tidak terulang kembali.


Secara keseluruhan, novel Amba ini memiliki kedalaman riset yang tidak diragukan lagi dengan latar tempat serta waktu yang kuat. Gaya bahasanya sebenarnya memukau dan indah, tetapi Laksmi terlihat berusaha keras menjaga prosanya di sepanjang cerita sehingga bagi sebagian pembaca akan merasa kisahnya berputar-putar, bahasanya bertele-tele, membosankan.


Itu belum termasuk karakter Amba pada paruh kedua tatkala bertemu Bhisma langsung jatuh cinta dan berakhir di ranjang dan hamil. Secepat itu, wow …. Tolong pembaca, jangan terlalu bucin dalam mencintai orang, ya.


Lantas, meski tidak ada manusia yang ajeg alias karakter itu sebenarnya statis, tetapi, dalam pandangan saya, agak rancu ketika Amba mencemooh adiknya yang ingin menikahi pria tampan dan memutuskan hidupnya mengabdi seperti ibu mereka, dia malah berkeinginan untuk menjajal hubungan badan, hahaha. Bahkan, saya kurang sreg tatkala Amba digambarkan tidak cantik, tetapi, selalu, berhasil membuat laki-laki yang baru bertemu kemudian tertarik dan jatuh cinta kepadanya (kecuali Zulfikar kali, yaa). Hmm ….


Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca dewasa, pencinta romansa, maupun fiksi sejarah.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Kadang-kadang hidup ini bisa begitu … begitu sinting. Bahwa situasi tertentu sering mengundang tafsir tertentu. (Hal. 23)


Apabila kita bertanya pada seorang ksatria tua, apa keberanian yang paling purba, dia akan menjawab: kewajiban. (Hal. 58)


Daya pandang manusia pada akhirnya ditentukan oleh kerendahhatian. (Hal. 61)


Yang hilang memang tak pernah milikku. (Hal. 64)


Jangan minta maaf. Tak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini daripada permintaan maaf yang tak pada tempatnya. (Hal. 75)


Kecantikan bukan jalan menuju bahagia. Ia sekaligus beban dan kutukan. Ia menjunjung dan mengurung. (Hal. 80)


Dua orang yang tak pernah menyakiti satu sama lain juga bisa ndak bahagia. (Hal. 89)


Jayabaya sudah tahu, Ranggawarsita sudah tahu, ya, orang Jawa sudah tahu, bahwa zaman datang dan pergi, selalu datang dan pergi, tiap kali berbeda. (Hal. 108)


Seperti kata Bung Karno, yang dibutuhkan negeri ini adalah persatuan. (Hal. 111)


Politik memang bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar. (Hal. 112)


Sejak kapan hidup ini jadi soal sesat atau tidak sesat? Siapa yang menentukan? (Hal. 114)


Ia selalu mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ketekunan, “seperti menyirami pohon setiap hari”, akan berbuah. Dan buah itu dibutuhkan. (Hal. 116)


Baginya politik itu sesuatu yang harus diketahui dan ia harus menempuh hal segala yang perlu diketahui untuk maju. (Hal. 140)


Dan bersama rindu timbul tenggang rasa. (Hal. 140)


Adil itu memang sulit. Bukankah semua keluarga punya kepedihannya masing-masing? (Hal. 159)


Perjalanan: melatih diri untuk tetap menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak. (Hal. 159)


Bukankah semua perempuan harus punya rahasia? Seperti kain lurik. Kita pakai di badan kita seperti tidak apa-apa di permukaan, tapi hangatnya menyelimuti tubuh. Itu akan membuat kita tak bergantung kepada siapa pun. Jangan mudah takut. (Hal. 174)


Kekerasan membuat aku bertanya-tanya tentang banyak hal— ya, banyak hal. Kita memulainya, mungkin sebagai keharusan untuk mengubah keadaan jadi lebih baik, tetapi berulang kali manusia tidak tahu bagaimana menghentikannya. Berkali-kali begitu. (Hal. 188)


Diam memang menyakitkan. Terutama diam di tengah orang yang harus hidup dengan bunuh-membunuh. (Hal. 190)


Seorang lelaki harus dibikin jatuh cinta selamanya pada seorang perempuan agar ia tak pergi. (Hal. 211)


Bukankah berpisah, mengucapkan selamat tinggal, adalah salah satu krisis terhebat dalam kehidupan manusia? (Hal. 214-215)


Aku kemudian tahu ada batas yang membuat satu ide dan satu masa depan tak sanggup melintasi tembok, ada batas yang membuat manusia mengenal dunia tapi tak bisa mengubahnya. Ada batasku sendiri. (Hal. 234)


Kebohongan itu mencapekkan. (Hal. 239)


Pada suatu saat yang penting, politik adalah tanggung jawab; bagaimana mungkin memisahkan keduanya? (Hal. 242-243)


Akhirnya memang harus ada dalam cerita hidup manusia sehari-hari yang pantas dianggap berarti. (Hal. 243)


Bukankah satu-satunya cara mencegah sesuatu terjadi adalah dengan berharap mati-matian itu akan benar terjadi? (Hal. 243)


Merusak itu lebih bisa cepat dan efektif daripada membentuk, apalagi membentuk karakter dan nilai-nilai. Salah satu yang mendasar dalam nilai-nilai adalah menghargai manusia bukan karena kekuatannya, bukan karena politiknya, tetapi karena prestasinya, akhlaknya, dan pengabdiannya. Politik tidak boleh mengalahkan semuanya, tidak boleh merombak dasar kehidupan bersama yang sudah teruji. (Hal. 244-245)


Yang kita dapat ketika kita menghirup udara adalah kasih sayang yang mahabesar dan yang tidak meminta kembali. Dan yang dapat kita makan adalah jerih payah orang lain yang tidak kita kenal. (Hal. 246)


Di dalam hidup ada saat-saat ketika masa depan dengan cepat diucapkan, justru karena yang sepenuhnya berkuasa adalah masa kini. (Hal. 253)


Sejarah memang tak hanya memihak. Mereka juga hendak memastikan yang menang tetap pemenang. (Hal. 307)


Di negeri ini kita memang tak pernah akrab dengan sejarah saudara-saudara kita. (Hal. 311)


Hidup telah mengajarinya, segala sesuatu ada waktunya. (Hal. 338)


Tak semua orang bisa ingat apa yang mereka pikirkan pada suatu saat di masa lampau. (Hal. 355)


Kemarahan bisa mengalahkan kita, meskipun bisa memperkuat kita. Kita harus bisa bertahan. (Hal. 355)


Meskipun dunia tak diciptakan untuk menahan yang adil dan yang tak berpihak, ada hal-hal yang kebetulan, dan dari kebetulan itu lahir sesuatu yang baru dan membebaskan. (Hal. 381)


Nasib baik dan ketenangan menyelamatkan kami. Kebodohan bisa sangat menakutkan. (Hal. 435)


Banyak sekali orang dibunuh karena kebencian yang tidak ia buat sendiri, banyak sekali. (Hal. 438)


Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati. Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan (Hal. 444)


Di tiap halaman tercatat kemenangan, tapi siapa yang memasak untuk pestanya? Wer kochte den Siegesschmaus? Setiap sepuluh tahun lahir orang besar, tapi siapa yang membayar ongkosnya? (Hal. 444)


Perjalanan membawa hal-hal baru yang membuat kita bijaksana. Tapi selalu ada yang tetap pada kita sejak sebelum berangkat. (Hal. 463)


Hidup juga terdiri atas cerita orang-orang lain. (Hal. 463)




Posting Komentar

0 Komentar