Kisah seorang pria tua mengulas hidupnya.
Identitas buku:
Judul: Reuni
Penulis: Alan Lightman
Penerjemah: Arief Ash-Shidiq dan Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: baNANA
Tahun: 2016
Jumlah: 172 halaman
ISBN: 9789781079587
Kategori: fiksi, novel, penggalan hidup
•••
Blurbnya:
Charles adalah seorang dosen di universitas kecil Amerika. Usianya lima puluh dua tahun, bercerai, mengagumi hasrat tetapi dirinya sendiri kosong emosi. Ketika ia kembali ke kampusnya, ia tergulung oleh kenangan jelas masa muda dan pandangannya tentang cinta pertama dan cinta sejatinya–seorang murid balet bernama Juliana. Saat gambar-gambar tersingkap, Charles sadar bahwa ia telah membentrokkan kenangan tentang hubungan asmara itu dirinya sendiri sewaktu muda. Bergelut dengan identitas sendiri dan cintanya yang hilang, Charles sekali lagi menghadapi serentetan peristiwa menghancurkan yang selamanya mengubah hidupnya.
•••
Garis besarnya:
Charles, berusia lima puluhan, menghadiri reuni kelulusan kuliahnya yang ke-30. Di sana, dia tidak sekadar bertemu dengan teman-teman lamanya maupun orang baru atau mengingat-ingat cerita dan kejadian pada sudut-sudut kampus, melainkan juga berhadapan dengan kenangan pada tahun-tahun terakhirnya bersekolah tatkala mengalami gejolak cinta masa muda bersama seorang penari balet, Juliana.
•••
Resensinya:
Saat akan memulai membaca buku ini, saya membayangkan bakal mendapatkan kisah-kisah reuni ala-ala pertemuan di kehidupan nyata yang, kebanyakan, berisi pamer kesuksesan ini-itu, unjuk pasangan, mengulang cerita-cerita lama, dsb. Ternyata hal tersebut hanya dikisahkan secuil oleh Alan Lightman. Malahan lebih banyak cerita Charles dengan ingatan romansanya di masa lalu.
Reuni bukanlah kisah tentang pertemuan teman-teman lama, melainkan cerita cinta yang manis-pahit-getir sekaligus. Novel ini tidak sekadar mengajak pembaca kembali pada masa-masa penuh gejolak sang tokoh utama, melainkan juga refleksi diri yang datang seiring bertambahnya usia, tentang sudut pandang peristiwa yang jika ditelaah kembali akan membawa perspektif yang berbeda, serta perihal kerapuhan ingatan manusia.
Saya menyukai cara Alan Lightman menggambarkan reuni yang terjadi saat Charles terperangkap dalam kenangan kehidupan kuliahnya—puisi-puisi, bergulat, perang Vietnam, dan hubungan cintanya bersama Julian—kala itu dengan cara yang berbeda sekarang. Dalam novel ini, masa lalu tidak hanya diingat kembali, melainkan juga ditafsirkan ulang yang akhirnya membawa perenungan terhadap kejadian-kejadian yang dialami sepanjang hidup. Dari peristiwa masa lalu itu pula membentuk pribadi saat ini, membentuk identitas dan kesadaran diri.
Novel ini menjembatani diri kita saat ini dengan diri kita yang lebih muda melalui ingatan-ingatan sehingga melalui introspeksi inilah pembaca bakal dibiarkan mempertanyakan ingatan mana yang sesungguhnya terjadi ataukah campuran ataukah tidak semuanya. Kebimbangan tersebut menyajikan mana yang menjadi harapan yang seharusnya dilakukan dengan mana yang telah terjadi.
Ada hal lain dan juga baru yang saya dapatkan dalam novel ini, yakni interpretasi puisi Emily Dickinson dan lainnya. Meskipun, sejujurnya, saya tidak terlalu paham tentang para penyair dan karya-karya tersebut, tetapi saya menikmati Alan Lightman menjadikan bait-bait puisi sebagai bagian dari plot sekaligus pondasi cerita (ya, Charles diceritakan penggemar puisi dan masuk kelas sastra Amerika saat kuliah).
Alan Lightman pun mulus memainkan transisi sudut pandang antara orang pertama (Aku) dengan orang ketiga (dirinya sendiri: Charles) sehingga tidak sekadar menemukan Charles melihat dirinya sendiri yang masih muda dengan penuh penyesalan juga mencelanya, sekaligus pembaca akan turut larut mengikuti dan menilai perjalanan diri Charles—yang bersemangat, meledak-ledak, penuh gairah, dan naif—melalui jarak pandang sebagai orang luar.
Reuni memiliki ritme cerita lambat, minim konflik alias datar-datar saja (cuma ngomongin diri sendiri, masa muda, jatuh cinta, kenangan), alur maju-mundur, dan berlompat-lompatan dalam kenangan dan kenyataan. Terjemahannya oke dan bagus membuat pembaca dapat mengikuti ceritanya dengan baik. Bab-bab awalnya terkesan membosankan, tetapi tatkala bergeser pada ingatan masa lalu penceritaannya mengalun dalam emosi yang pas. Buku ini saya rekomendasikan mulai dewasa muda.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Karena kesejahteraan dan kebutuhan adalah konsep yang betul-betul relatif, tidak ada kemiskinan mutlak, penderitaan mutlak, kedukaan mutlak. Semuanya relatif. (Hal. 7)
Manusia merasa dirinya puas hanya sesudah membandingkannya dengan kondisi lain. (Hal. 8)
Aku tidak bisa memutuskan apa yang dibutuhkan orang, apa yang aku butuhkan bisa. (Hal. 8)
Waktu hanya mengalir satu arah. (Hal. 32)
Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi hanya bisa dijalani dengan berjalan ke depan. (Hal. 32)
Yang perlu dikerjakan ya harus dikerjakan. (Hal. 70)
Pada dasarnya, orang itu egois. Dan keegoisan primordial itu, yang dibantah dengan begitu ngototnya oleh spesies kita, tampaknya mendasari nyaris semua tingkah laku manusia, (Hal. 74)
Kita adalah ibu dan anak gadis dari kecemasan kita sendiri. (Hal. 74)
Mungkin lewat cinta kita bisa memahami beberapa hal tentang kemanusiaan. (Hal. 94)
Ketidakterhinggaan. Begitu banyak hal beruntun terjadi untuk pertama kali. Apa yang si anak muda tak sadari adalah begitu banyak hal beruntun terjadi untuk terakhir kalinya juga. Dunia membuka dan menutup pada saat yang bersamaan. (Hal. 96)
Hidup itu sekaligus terduga dan tak terduga. (Hal. 134)
Aku paham bahwa dunia dibuat oleh kepala dan hati bersama, bahwa hidup tidak masuk akan tetapi kita tetap harus berjuang menghadapi hidup. (Hal. 137)
Tidakkah orang menyerahkan sebagian dari dirinya ketika mereka mencintai? (Hal. 162)
0 Komentar